Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

New Normal Oke, New Orba Ogah

Selasa, 2 Juni 2020 06:07 WIB
Tampak petugas berjaga-jaga di Stasiun MRT Bunderan Hotel Indonesia (HI) untuk menyambut The New Normal, Rabu (27/5). (Foto: Putu Wahyu Rama/RM)
Tampak petugas berjaga-jaga di Stasiun MRT Bunderan Hotel Indonesia (HI) untuk menyambut The New Normal, Rabu (27/5). (Foto: Putu Wahyu Rama/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia tengah bersiap menyongsong New Normal. Tapi, di tengah wacana tersebut, ada kekhawatiran New Orba bakal bangkit lagi. Kepada New normal, semua menyatakan oke-oke saja. Tapi, kalau New Orba, ogah ah!

Kekhawatiran New Orba mencuat seiring hebohnya dua kasus yang tengah disoroti masyarakat. Pertama, kasus teror yang menimpa Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Ni'matul Huda.

Ni'matul sebelumnya direncanakan menjadi salah satu pembicara diskusi bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat pekan lalu. Judul diskusi sempat diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', sebelum akhirnya dibatalkan.

Teror juga menimpa para panitia diskusi tersebut. Mulai dari ancaman pembunuhan melalui pesan yang dikirim melalui ponsel, sampai disatroni rumahnya oleh sejumlah orang tak dikenal.

Kasus kedua, adalah penangkapan Ruslan Buton. Eks anggota TNI ini ditangkap lantaran mendesak Presiden Jokowi mundur lewat surat terbuka. Ia dijerat pasal berlapis, pasal tentang keonaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca juga : Soal Polling New Normal Vs New President, Pengamat: Sesat Akademik

Kekhawatiran kembalinya Orba disuarakan sejumlah pihak. Salah satunya, pengamat hukum tata negara Refly Harun. "Saya pernah mengalami masa kelam Orde Baru. Waktu itu, berpendapat begitu takutnya, begitu khawatirnya. Khawatir ditangkap, khawatir dipidanakan," ujar Refly, dalam akun Youtubenya, kemarin.

"Sadar atau tidak, nuansa itu ada saat ini. Jadi, seperti kita sedang diintai, kepleset omongannya maka akan berlakulah Undang-Undang ITE," sambung dia. Padahal, menurut Refly, kritik sangat diperlukan agar pemerintah bisa menjalankan pemerintahan dengan lebih baik.

Refly lalu menyoroti apa yang menimpa Ruslan Buton. Kata dia, mestinya apa yang dilakukan Ruslan Buton itu dianggap sebagai sebuah kritikan. Pemerintah diminta tidak baperan dengan langsung mencap kritikan itu sebagai penghinaan atau serangan. "Pemimpin yang dewasa itu mendengar kritik, baik yang membangun maupun yang menjatuhkan," tegasnya.

Eks Wamenkumham, Denny Indrayana berpendapat serupa. Insiden itu, disebutnya menunjukkan karakter otoritarianisme yang kembali muncul. "Kita yang mendorong menghilangkan sifat-sifat otoriter dari Orde Baru terganggu lagi dengan muncul kembali karakter tersebut," ujar Denny, dalam seminar nasional bertema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', kemarin.

Dalam diskusi yang sama, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Din Syamsuddin juga mengingatkan, kebebasan berpendapat sudah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Dia merasa terganggu dengan sikap otoriter yang ditunjukkan pemerintah. "Saya terganggu jika ada rezim cenderung otoriter, represif, dan antikebebasan berpendapat," tuturnya.

Baca juga : The New Normal untuk Indonesia Lepas Landas

Sementara, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat, Indonesia berada dalam proses kemunduran demokrasi secara perlahan sejak 2016. Demokrasi semakin mundur pasca-Pemilu 2019.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menjelaskan, satu di antara beberapa indikator penting dari kemunduran demokrasi itu adalah semakin tergerusnya kebebasan sipil.

"Tergerusnya kebebasan akademik belakangan ini merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Indonesia memasuki era reformasi politik pada 1998," tegasnya.

Sementara itu politisi senoir PDIP Hendrawan Supratikno curiga, ada yang hendak memframing pemerintah otoriter. Hal itu, kata dia, merupakan strategi untuk kepentingan politik Pilpres 2024.

"Ada upaya untuk menggiring persepsi bahwa pemerintahan saat ini menuju otoritarianisme baru. Bagian strategi untuk degradasi citra politik dalam kontestasi," ujarnya, semalam.

Baca juga : Ups.. Puan Berani Nyerang Jokowi Loh

Dia menyatakan, UUD menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran. Hendrawan memastikan pemerintah menjalankan aturan ini dengan baik.

"Pemerintah tidak menghalang-halangi masyarakat berpendapat," tegasnya. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.