Dark/Light Mode

TB Penyakit Menular Paling Mematikan, Pakar Ajak Masyarakat Perkuat Imun Tubuh

Senin, 25 November 2024 22:11 WIB
Ilustrasi Tuberkulosis (TB). (Gambar: Kemenkes)
Ilustrasi Tuberkulosis (TB). (Gambar: Kemenkes)

RM.id  Rakyat Merdeka - Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular mematikan nomor satu saat ini. Kementerian Kesehatan mencatat, terjadi tren peningkatan kasus TB di Indonesia pada 2023 yakni mencapai 1.060.000. 

Menurut Dokter Spesialis Paru RSPI Bintaro, Dr. dr. Raden Rara Diah Handayani, Sphi.P(K), seseorang dengan kekebalan tubuh yang rendah akan lebih mudah untuk langsung menjadi sakit jika tertular TB. Begitu juga pada anak di bawah 5 tahun, dapat mengalami sakit TB yang berat.

Sedangkan pada orang dengan kekebalan tubuh yang baik, perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi reaktivasi menjadi sakit TB. Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan, 30-50 persen orang yang kontak serumah dengan pasien TB telah mengalami infeksi TB laten.

“Diprediksi 10-15 persen akan menjadi sakit TB atau TB aktif terutama bila mengalami penurunan imun seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, DM dengan gula darah tidak terkendali, gizi buruk, dan perokok serta pengguna alkohol,” kata jelas dokter Rara.

Baca juga : PkM Multidisiplin Universitas Trisakti Edukasi Masyarakat Kurangi Ancaman Longsor

WHO merekomendasikan pada kontak serumah yang telah terinfeksi atau infeksi TB laten untuk diberikan Terapi Pencegahan TB (TPT) berupa beberapa obat seperti rifampentin dan isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau 3 bulan INH rifampisin (3 HR). 

“Selain pencegahan dengan TPT dan vaksinasi, hal yang menjadi penting adalah menjaga kesehatan secara aktif dengan memenuhi kebutuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat cukup serta mengontrol penyakit komorbid terutama DM dan HIV dengan pengobatan yang adekuat, serta olahraga rutin,” saran dokter Rara.

Bagi pasien yang terdiagnosis TB, biasanya dokter akan memberikan obat dalam dua tahap, yakni insentif dan lanjutan selama 6 bulan, terdiri dari 2 bulan rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid, dilanjutkan 4 bulan rifampisin dan pirazinamid (2RHZE/4RH). 

Pada panduan pengobatan TB, ada beberapa hal yang juga penting seperti menjaga kesehatan tubuh dengan nutrisi yang cukup baik. Untuk pemberian obat-obatan imun, harus di bawah pengawasan dokter yang merawat karena dipengaruhi kondisi pasien. 

Pemberian Obat-obatan Imun

Baca juga : AUDY Dental Ajak Masyarakat Berani Senyum Tanpa Ragu dan Tampil di Billboard

Terkait dengan pemberian obat-obatan imun atau imunomodulator, Farmakolog Molekuler Prof Raymond Tjandrawinata, memaparkan hasil uji klinik imunomodulator terhadap pasien TB paru. Uji klinik imunomodulator dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) terhadap penderita TB paru telah dilakukan beberapa ahli. Parameter efikasi dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologik (foto toraks). 

Imunomodulator yang telah teruji klinis adalah Stimuno yang dikembangkan secara modern dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri). Selain teruji klinis, Stimuno juga telah masuk Formularium Fitofarmaka yang dirilis Kementerian Kesehatan. Stimuno yang dikembangkan PT Dexa Medica memiliki tiga aksi yakni untuk pencegahan, pengobatan kasus, penyembuhan kasus, hingga mencegah agar infeksi tidak menyebar. 

Uji klinik Stimuno terhadap penderita TB paru telah dilakukan beberapa ahli. Para ahli melakukan uji klinik dengan parameter efikasi yang dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologik (foto toraks). Hasil studi klinik selama enam bulan terapi obat yakni antara kelompok kontrol yang mendapat terapi obat standar TB (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pyrazinamid) dan kelompok uji yang mendapat terapi obat standar TB ditambah Stimuno yang dikonsumsi sehari tiga kali. Setelah 1 minggu terapi, proporsi pasien yang mengalami konversi sputum BTA pada kelompok uji (52,9 persen) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (39,4 persen). 

Prof Raymond menjelaskan, secara statistik, hal ini menunjukkan tren yang lebih baik ke arah Stimuno dan memiliki dampak klinis yang besar yaitu pasien dengan konversi sputum BTA tidak akan menjadi sumber penularan TB paru ke lingkungannya. “Selain itu, perbaikan imunitas pasien juga terlihat sehingga dapat disimpulkan bahwa Stimuno bekerja secara sinergis dengan terapi obat TB dalam pencapaian eradikasi pathogen,” papar Director of Business Development and Scientific Affairs Dexa Group ini.

Baca juga : Jelang Pilkada 2024, Ketua MPR Muzani Ajak Masyarakat Perkuat Persatuan

Prof Raymond melanjutkan, uji klinis menunjukkan bahwa Stimuno tidak memiliki efek samping secara signifikan pada penggunaan jangka panjang selama 6 bulan. "Apalagi Stimuno memiliki tiga aksi untuk memperbaiki sistem imun atau triple action yakni membantu memproduksi lebih banyak antibodi, membantu mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, dan membantu mengoptimalkan daya tahan tubuh,” kata Prof Raymond.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.