Dark/Light Mode

Catatan Iwan Setiawan

Menolak Makan Bergizi Gratis, Mematikan Masa Depan Bangsa

Minggu, 20 April 2025 20:49 WIB
Sejumlah siswa menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Lengkong Gudang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (13/1/2025). (Foto: Randy Tri Kurniawan/RM)
Sejumlah siswa menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Lengkong Gudang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (13/1/2025). (Foto: Randy Tri Kurniawan/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam dinamika demokrasi, kritik terhadap kebijakan publik adalah sesuatu yang sehat dan perlu. Namun, ketika kritik berubah menjadi kampanye pembatalan terhadap program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), maka yang dirugikan bukanlah Pemerintah, melainkan anak-anak dari keluarga rentan yang bergantung pada dukungan negara untuk bertahan hidup dan berkembang.

MBG bukan program biasa. Ini adalah intervensi terarah untuk mengatasi tiga persoalan mendasar bangsa: Gizi buruk, kemiskinan struktural, dan minimnya lapangan kerja lokal. 

April ini sudah 3 juta anak Indonesia mendapat manfaat dari MBG. Dapur komunitas tumbuh di ribuan titik membuka ribuan lapangan pekerjaan baru, dan petani lokal mulai merasakan peningkatan permintaan dari rantai pasok pangan yang terbangun.

Mereka yang hari ini menyerukan agar program ini dibatalkan, barangkali lupa bahwa setiap piring makan yang disediakan bukanlah sekadar bantuan Pemerintah—tetapi investasi masa depan bangsa.

Baca juga : Menko Polkam Optimalkan Pengamanan Terbuka Dan Tertutup

Menyerukan pembatalan program ini sama dengan memutus akses gizi anak-anak miskin, menghentikan pendapatan ribuan pekerja dapur, dan melemahkan ekonomi desa.

Dunia Justru Bergerak Dukung MBG

Kita perlu melihat ke panggung dunia. Sejak 2021, inisiatif global School Meals Coalition telah mengajak seluruh negara untuk memastikan setiap anak di dunia mendapat satu kali makan sehat di sekolah pada tahun 2030.

Koalisi ini dipimpin oleh negara-negara dengan pengalaman panjang dan keberhasilan dalam program serupa—Prancis, Finlandia, dan Brazil. Indonesia sendiri baru bergabung pada 2025 dan mendapat sambutan positif.

Menolak MBG sama saja dengan menolak membaca fakta dan menutup mata terhadap arah kebijakan global. Sementara dunia bergerak maju menjadikan makan bergizi gratis sebagai hak dasar setiap anak, mengapa sebagian dari kita seperti justru mundur dan mengampanyekan pembatalan?

Yang Dibutuhkan: Perbaiki, Bukan Batalkan

Baca juga : Keberpihakan Prabowo ke Produk Lokal Lebih dari Sekadar TKDN: Maung Garuda

Benar, pelaksanaan MBG belum sempurna. Namun, bukan berarti MBG harus dihentikan. Seperti program BPJS, BOS, dan sekolah gratis yang dulu juga ramai kritik, MBG perlu perbaikan bertahap dan penguatan tata kelola, bukan pembatalan.

Langkah-langkah perbaikan bisa dan sedang dilakukan dengan perbaikan kualitas dan pengawasan makanan, digitalisasi sistem pembayaran untuk mitra, dan penguatan kolaborasi antar daerah dan pusat.

Saat bangsa lain berlomba-lomba memastikan anak-anak mereka tidak belajar dalam keadaan lapar, maka apabila kemudian ada yang membangun narasi agar program MBG dihentikan. Ini bukan sekadar kekeliruan strategi—ini adalah kelalaian moral.

Menolak MBG berarti menolak masa depan anak-anak Indonesia. Mari kita waras: Kebaikan yang belum sempurna bukan untuk dihentikan, tapi untuk disempurnakan.

Baca juga : TPBIS Jadi Wahana Tunjukkan Kreativitas dan Martabat Bangsa

Sejarah akan mencatat—di tengah berbagai perdebatan, apakah kita berdiri di sisi yang membela hak anak-anak untuk makan, atau justru menjadi bagian dari suara yang mengosongkan piring-piring mereka.

Iwan Setiawan
Direktur Indonesia Political Review (IPR)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.