BREAKING NEWS
 

China Masih Mendominasi, Dewan Baja ASEAN Dorong Penguatan Regional

Reporter & Editor :
FIRSTY HESTYARINI
Minggu, 13 November 2022 08:33 WIB
Presiden AISC sekaligus Dirut Krakatau Steel Silmy Karim saat memimpin pertemuan dengan Dewan Baja ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (12/11). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Asean Iron and Steel Council (AISC) menggelar pertemuan ke-27 di Kuala Lumpur Malaysia, Sabtu (12/11).

Ini adalah pertemuan fisik pertama setelah pandemi, yang dihadiri oleh perwakilan asosiasi baja dari negara Vietnam, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, serta Thailand.

AISC yang dipimpin Silmy Karim adalah dewan yang menangani permasalahan industri besi dan baja terkait kebijakan pemerintah, ekonomi, dan perdagangan.

AISC yang beranggotakan ketua asosiasi industri besi dan baja ASEAN ini dibentuk pada 1977, dengan Trade Industry & Policy Development Committee sebagai pendukung aktivitas AISC.

Dalam acara tersebut, Presiden AISC Silmy Karim menggarisbawahi fakta, bahwa hingga 2021, China melakukan eskpor sebanyak 70,1 juta ton. Atau meningkat 24,2 persen dari sebelumnya, yang hanya berjumlah 56,5 juta ton di tahun 2020.

Khusus di wilayah ASEAN, pada tahun 2021, China telah melakukan eskpor baja sebanyak 20,1 juta ton. Atau meningkat 10,0 persen dari tahun 2020, yang hanya 18,3 juta ton baja.

Berdasarkan data AISC, negara tujuan ekspor terbesar di ASEAN pada 2021 adalah Vietnam, dengan angka 5,6 juta ton. Disusul Filipina 3,9 juta ton, Thailand 3,8 juta ton, Indonesia 3,0 juta ton, dan Malaysia 1,4 juta ton.

Baca juga : Buka Kongres PDUI, Bamsoet Dorong Peningkatan Kompetensi Dokter

Produk baja terbanyak yang diekspor oleh China. Antara lain Hot Rolled Coil sebanyak 3,6 juta ton, Galvanised Sheet 3,3 juta ton, Welded Pipe 2,1 juta ton, Color Coated Sheets 1,8 juta ton, dan Wire Rod 1,4 juta ton.

Produk baja paduan Hot Rolled Coil, masih menjadi produk dominan China yang masuk ke negara-negara ASEAN. Baik dalam bentuk gulungan, canai, maupun lembaran.

“Hingga saat ini, China masih konsisten melakukan ekspor di kisaran 30-35 persen, sejak tahun 2016," ujar Silmy dalam keterangannya, Minggu (13/11).

Secara global, jumlah ekspor baja dari China, naik dari 40,5 juta ton menjadi 42,8 juta tons di periode Januari-September 2022. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2021.

Meski pada periode tersebut, terjadi penurunan ekspor baja China dari 15.1 juta ton menjadi 14.5 juta ton.

Kenaikan ekspor China, antara lain dipicu perlambatan ekonomi di China.

Adsense

"Berita terbaru dari pemerintah China, mereka berkomitmen untuk mengurangi volume ekspor. Tahun 2021, baja mentah sudah mulai turun sebesar 3 persen atau sebanyak 31,4 juta ton. Tahun ini, China juga menargetkan penurunan,” papar Silmy.

Baca juga : Kepala BNPT Dorong Program Penguatan Literasi

Dia menyebut, masih tingginya ekspor baja China, menjadi dasar bagi Dewan Baja ASEAN, untuk mendorong diadakannya diskusi langsung dengan China Iron and Steel Association (CISA), yang direncanakan pada 2023.

Agenda tersebut antara lain membahas kenaikan jumlah ekspor baja China. Terutama, setelah pandemi Covid-19. Kebijakan pengenaan pajak ekspor baja dari China, perlu dievaluasi kembali.

Begitu pula, pengendalian permintaan dan pemenuhan kebutuhan baja dari China.

“Namun secara keseluruhan, anggota AISC optimistis bahwa setelah pandemi Covid-19 berakhir, industri baja di ASEAN pun dapat menguat kembali dan melanjutkan pemulihan kinerja," ujar Silmy.

Tak hanya fokus pada China, para anggota AISC juga membahas potensi ekspor impor baja maupun bahan baku baja, dari negara Rusia dan Ukraina.

Selain dapat menjadi tantangan yang harus dihadapi, jumlah ekspor impor dari Rusia dan Ukraina juga dapat dijadikan peluang, untuk pemenuhan kebutuhan baja dari negara-negara yang melarang masuknya impor baja dari Rusia dan Ukraina. Sebut saja Uni Eropa dan Turki.

Berdasarkan data AISC terakhir, baja mentah yang diproduksi Rusia pada tahun 2021 mencapai 76 juta ton. Naik 6,1 persen dari tahun 2020, yang hanya 71,6 juta ton.

Baca juga : Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV Butuh Sokongan Percepatan Belanja APBN

Sementara produksi baja mentah Ukraina mencapai 21,4 juta ton pada 2021. Meningkat 3,6 persen dibanding tahun 2020, yang hanya 20,6 juta ton.

“Dengan jumlah produksi yang cukup besar, Rusia merupakan negara kedua terbanyak yang mengekspor baja setelah China, dengan total ekspor 41,6 juta ton pada tahun 2021. Di bawah China yang mencapai 56,5 juta ton. Sedangkan Ukraina  mengekspor 19,7 juta ton baja pada tahun 2021. Ini adalah sesuatu yang harus kita waspadai,” beber Silmy.

Pada kesempatan ini, AISC juga mengajak keseluruhan anggotanya di ASEAN, untuk berkontribusi dalam penghematan energi dan pelestarian lingkungan. Melalui teknologi baja yang ramah lingkungan, yang kini sudah mulai diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang.

Saat ini, beberapa negara di dunia mengevaluasi kembali penyesuaian pembatasan jumlah karbon. Terutama, negara-negara di Uni Eropa, yang saat ini sudah memulai proses pengesahannya.

Penerapan ISO14030-3 juga diajukan untuk mewujudkan Green Steel Industry, yang saat ini masih dalam tahap evaluasi oleh EU Emission Trading System.

“Sebagai bagian dari asosiasi baja dunia, kami terus berupaya mewujudkan konservasi energi dan penggunaan teknologi ramah lingkungan pada pabrik baja. Demi tercapainya Sustainable Development Goals pada industri baja,” tutup Silmy, yang juga merupakan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense