Dark/Light Mode

Meninjau Ulang Libur Panjang Sekolah: Fenomena Pelajar di Halte Bus Saat Libur

Sabtu, 4 Januari 2025 17:30 WIB
Ilustrasi anak-anak bersantai sambil main gadget.
Ilustrasi anak-anak bersantai sambil main gadget.

Dalam langkah-langkah antara tempat parkir dan ruang kerja, saya kemudian melewati halte bis yang sepertinya sudah lama beralihfungsi. Di sana bergerombol sejumlah anak dengan berbagai perilaku. Ada yang bercanda, “mabar” alias main games bareng, foto-foto dan video sambil berceloteh akan memidiokan klakson bus nada Bajuri yang lagi hit itu. 

Mereka adalah sekelompok pelajar yang karena satu dan lain hal, menghabiskan waktunya di halte bis yang “menganggur” dan tidak dirawat tersebut. Mereka melakukan ini tentu karena waktu sekolah memang sedang libur cukup panjang. 

Liburan sekolah sering kali menjadi momen jeda bagi pelajar dari rutinitas belajar. Namun, pemandangan halte-halte bus yang dipenuhi gerombolan pelajar selama masa liburan memantulkan suatu refleksi dinamika sosial yang lebih dalam. 

Fenomena ini bukan sekadar soal "anak-anak yang berkumpul," melainkan di dalamnya juga mencerminkan visualisasi stratifikasi sosial-ekonomi di masyarakat perkotaan serta hubungan antara ekosistem pendidikan, keluarga, dan ruang publik.

Pelajar dan Liburan dari Perspektifi Sosial

Melalui perspektif sosiologi perkotaan, pelajar yang mengisi waktu liburan dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok berdasarkan latar belakang sosial-ekonominya:

Pertama, Kelompok Mapan. Mereka adalah anak-anak dari keluarga dengan status ekonomi yang baik sering kali memiliki akses ke berbagai aktivitas liburan terencana, baik di dalam maupun luar negeri. Orang tua dari kelompok ini mampu menggantikan kehadiran mereka dengan fasilitas dan program yang dirancang untuk mengisi waktu luang anak, meski tidak hadir secara fisik. Kelompok ini jarang terlihat "menganggur" di halte bus atau tempat umum lain, karena agenda mereka terstruktur.

Baca juga : Libur Sekolah Dan Nataru, Pemprov Harus Sediakan Tempat Wisata Asyik Di Jakarta

Kedua, Kelompok Menengah. Pelajar dari keluarga kelas menengah menghadapi situasi yang berbeda. Orang tua mereka, meski memiliki penghasilan cukup, sering kali fokus pada kebutuhan jangka panjang seperti persiapan biaya pendidikan untuk semester berikutnya.

Akibatnya, anak-anak dari kelompok ini tidak selalu memiliki agenda khusus selama liburan. Mereka cenderung menghabiskan waktu dengan aktivitas sederhana seperti bermain ponsel atau berkumpul bersama teman di ruang publik, termasuk halte bus.

Ketiga, Kelompok Rentan Ekonomi. Bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, liburan sekolah tidak jarang berarti harus membantu pekerjaan orang tua, baik di rumah maupun di tempat kerja informal. Halte bus dan ruang publik lain menjadi tempat "pelarian" mereka untuk sekadar bersosialisasi. Minimnya akses pada fasilitas dan kegiatan edukatif membuat waktu mereka kurang terarah, memperlihatkan kurangnya intervensi dari sistem pendidikan maupun kebijakan sosial.

Ruang Publik dan Ruang Sosial: Perspektif Sosiologi Perkotaan

Halte bus, dalam konteks ini, menjadi representasi ruang sosial bagi pelajar dari kelompok menengah ke bawah. Alih-alih hanya berfungsi sebagai infrastruktur transportasi, halte bus berubah menjadi "ruang bermain" sementara. 

Dalam teori sosiologi perkotaan, ruang publik seperti halte mencerminkan interaksi sosial yang beragam, tetapi juga memperlihatkan ketimpangan sosial. Anak-anak dari kelompok mapan jarang terlihat di ruang publik ini, sementara anak-anak dari kelompok rentan memanfaatkan halte sebagai ruang sosial alternatif karena terbatasnya opsi lain. Terlebih tidak sedikit anak-anak itu hidup dalam ruangan yang tidak memadai secara luasan. 

Kritik terhadap Sistem Liburan Panjang

Baca juga : Jelang Libur Sekolah, Penumpang Whoosh Tembus 23 Ribu Di Akhir Pekan

Fenomena liburan yang memakan waktu begitu panjang ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah sistem liburan panjang sekolah masih relevan? 

Secara historis, liburan panjang mungkin pernah berfungsi untuk mengakomodasi kaum urban yang ingin pulang ke desa. Saat itu, waktu tempuh dan aksesibilitas yang belum mudah menyebabkan kebutuhan waktu untuk liburan lebih lama. Namun konteks sosial hari ini sudah banyak berubah. Kehadiran gawai dan digitalisasi telah mengubah cara anak-anak menghabiskan waktu luang mereka. Sementara di sisi lain kesenjangan sosial semakin menonjol.

Liburan panjang seperti saat ini, yang tidak berisan dengan waktu libur orang tuanya, juga kerap menjadi beban—terutama orang tua. Sehingga dengan jadwal yang tidak sinkron ini, alih-alih libur bisa mempererat hubungan keluarga, justru menciptakan tekanan baru. 

Apalagi bagi kelompok keluarga rentan, liburan panjang bisa memperburuk situasi ekonomi karena anak-anak harus tetap di rumah tanpa aktivitas yang terarah. Jika pun ada kegiatan, biasanya mereka mendampingi ragam usaha dan kegiatan orang tuanya di rumah atau tempat usahanya.

Sejumlah Usulan

Oleh karena itu, daripada mempertahankan model liburan panjang tradisional yang sudah tidak kontekstual lagi, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif, seperti:

Pertama, Penyesuaian Jadwal Liburan. Diperlukan sinkronisasi liburan sekolah dengan jadwal libur orang tua. Hal ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan kualitas waktu bersama keluarga.

Baca juga : Wamen Diana Minta BUJT Pastikan Rest Area Bersih & Bebas Macet Saat Libur Nataru

Kedua, Kegiatan Edukatif Terstruktur. Di mana lembaga pendidikan dapat mengisi liburan dengan program-program edukatif atau pelatihan keterampilan tanpa harus bersifat wajib. Hal ini membuka peluang bagi anak-anak dari semua kelas sosial untuk tetap belajar dan berkembang.

Ketiga, Optimalisasi Ruang Publik. Dalam hal ini pemerintah kota perlu memperhatikan desain ruang publik seperti halte bus agar tidak hanya menjadi tempat transit, tetapi juga ruang interaksi sosial yang aman dan positif bagi anak-anak.

***

Fenomena pelajar yang "menganggur" di halte bus ketika musim liburan adalah cerminan kesenjangan sosial-ekonomi yang memerlukan perhatian serius. Perspektif sosiologi telah membantu kita memahami bahwa ruang-ruang publik seperti halte bus tidak sekadar tempat, tetapi juga arena di mana ketimpangan sosial terlihat jelas. 

Dengan kebijakan liburan yang lebih inklusif dan adaptif, kita dapat menciptakan ekosistem pendidikan dan ruang sosial yang lebih adil bagi semua anak Indonesia. [*]

Dr. Tantan Hermansah
Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.