Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS

Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si
Ketua DPP Golkar
Ketua DPP Golkar
RM.id Rakyat Merdeka - Ada momen langka dalam sejarah sebuah bangsa ketika seorang pemimpin tidak sekadar berbicara dari naskah yang telah disiapkan, melainkan termanifestasi dari kedalaman jiwanya. Momen ketika retorika politik berubah menjadi jeritan hati nurani. Baru saja, Indonesia menyaksikan momen seperti itu melalui sosok Presiden Prabowo.
Dalam hiruk-pikuk perpolitikan modern yang sering sekali dipenuhi janji-janji manis dan kalkulasi elektoral yang sifatnya populis, jarang kita menemukan pemimpin yang keluar dari zona nyaman yang saya sebut: diplomasi halus. Prabowo Subianto adalah pengecualian itu.
"Perbedaan jangan menjadi sumber gontok-gontokan. Ini selalu yang diharapkan oleh bangsa-bangsa asing... Ratusan tahun mereka datang, ratusan tahun mereka adu domba kita... Mereka katanya penegak demokrasi, HAM, kebebasan pers. Padahal itu adalah versi mereka sendiri."
Kalimat ini bukan sekadar kritik politik biasa. Ini adalah kesadaran sejarah yang mendalam—pengakuan jujur bahwa bangsa ini telah lama menjadi arena permainan kekuatan global yang berselimutkan idealisme palsu. Ada keberanian langka di sini: keberanian untuk menyebut sesuatu dengan nama sebenarnya, meski risiko politiknya tidak kecil.
Prajurit Tidak Pernah Pensiun
Mengenal Prabowo selama bertahun-tahun, saya menyaksikan bagaimana jiwa prajuritnya tidak pernah benar-benar melepaskan seragam. Meski sudah lama tidak bertugas di medan tempur fisik, ia tetap bertempur—kali ini untuk masa depan bangsa yang lebih berdaulat.
"Sebagai seorang prajurit, jiwa dan raga saya telah saya serahkan untuk bangsa dan negara," pernah katanya suatu kali. Bukan slogan kampanye, bukan pula retorika kosong. Ini adalah komitmen eksistensial seorang manusia yang telah menemukan makna hidupnya dalam pengabdian kepada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
Baca juga : Di Depan Prabowo, PM Wong Yakin Akan Potensi Ekonomi Indonesia
Dalam filsafat, kita mengenal konsep leap of faith—lompatan keberanian melampaui kepentingan diri. Prabowo telah melakukan lompatan itu jauh-jauh hari, bahkan sebelum ia duduk di kursi presiden.
Ketika seorang presiden berkata, "Jangan menipu rakyat, jangan mencuri dari kekayaan rakyat, jangan menerima mandat jika tidak ingin mengabdi"—ia tidak sedang memberikan ceramah moral biasa. Ia sedang menetapkan standar kepemimpinan yang radikal: kepemimpinan sebagai amanah, bukan kesempatan.
Pesan ini mengingatkan kita pada konsep guardianship—pemimpin sebagai pelindung, bukan predator. Dalam konteks Indonesia yang sering dilanda skandal korupsi, pernyataan ini terdengar revolusioner. Hanya pemimpin yang benar-benar bersih dari ambisi pribadi yang bisa berucap seperti ini tanpa malu.
Pancasila sebagai Kompas, Bukan Hiasan
"Pancasila bukan sekadar mantra... kita harus menjaga, membela, dan meneruskan nilai-nilai tersebut agar negara kita melangkah maju."
Di era globalisasi yang sering membuat bangsa-bangsa kehilangan jati diri, Prabowo mengingatkan kita pada pentingnya kompas moral yang telah teruji waktu. Pancasila bukan museum sejarah, melainkan panduan hidup yang relevan untuk menghadapi tantangan masa kini.
Ini bukan konservatisme buta, melainkan kesadaran bahwa dalam pusaran perubahan global, bangsa yang kuat adalah bangsa yang tahu dari mana ia berasal dan mau kemana ia akan pergi.
Baca juga : Persiapan Piala Presiden 2025 Terus Digeber
Mungkin yang paling menyentuh dari kepemimpinan Prabowo adalah kejujurannya dalam mendiagnosis penyakit bangsa:
"Kekayaan kita sangat besar, tetapi terlalu banyak maling-maling yang mencuri uang rakyat. Dan untuk itu saya bertekad akan menertibkan semua itu."
Tidak banyak pemimpin yang berani menyebut koruptor sebagai "maling" di hadapan publik. Tidak banyak yang berani berjanji "menertibkan" dengan tegas seperti ini. Ada keberanian dan keseriusan di sini yang jarang kita temui dalam politik konvensional.
Visi yang Membumi namun Mendunia
Prabowo memahami bahwa nasionalisme hari ini bukan lagi soal bendera dan lagu kebangsaan semata, melainkan soal kedaulatan nyata: kedaulatan energi, pangan, pertahanan, dan teknologi. Ia bicara tentang hilirisasi, tentang anak negeri yang mengelola kekayaan negeri, tentang Indonesia yang berdiri dengan kaki sendiri.
Ini adalah nasionalisme yang cerdas—mencintai tanah air dengan cara yang produktif dan futuristik, bukan dengan cara yang emosional dan kosong.
Sebagai akademisi yang telah puluhan tahun mengamati dinamika kepemimpinan nasional, saya katakan dengan penuh tanggung jawab: kita belum pernah memiliki presiden seperti ini. Berani, terbuka, dan autentik dalam cara yang jarang kita saksikan di panggung politik modern.
Baca juga : Warga Dan Pelajar Indonesia Di Singapura Sambut Hangat Presiden Prabowo
Prabowo Subianto bukan hanya presiden yang kebetulan pernah menjadi jenderal. Ia adalah jenderal yang menjadi filsuf, prajurit yang menjadi negarawan, nasionalis yang memahami kompleksitas dunia global. Ia adalah pemimpin yang telah menaklukkan ego pribadinya sebelum berusaha menaklukkan tantangan zaman.
Di tangannya, Indonesia bukan hanya berharap untuk selamat—Indonesia bersiap untuk bangkit. Karena bangsa ini kini dipimpin oleh seseorang yang berbicara bukan dari perhitungan politik, melainkan dari kedalaman cinta tanah air yang tulus. Dan dalam zaman yang sering dipenuhi kebohongan politik, kejujuran seperti ini terasa seperti secercah cahaya di tengah kegelapan.
Prof. Ali Mochtar Ngabalin, Guru Besar Hubungan Internasional
Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya