Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
24 Tahun Jadi Anak Buah Pak MG (2)
Borong Mobil & Rumah Untuk Karyawan
Senin, 14 Februari 2022 18:55 WIB

RM.id Rakyat Merdeka - Saya pernah jadi “sopir” Pak MG dua tahunan. Hampir tiap hari, saya antar Pak MG pulang kantor. Katanya, lebih enak naik Avanza merah daripada Landcruiser, miliknya. Padahal, saya tahu alasan sebenarnya. Dia minta disetiri supaya bisa dengar dangdut sampai tertidur di perjalanan. Pemberian mobil, adalah salah satu cara Pak MG menunjukkan rasa peduli pada karyawannya. Dia pernah jor-joran beli banyak dan dibagi-bagi di kantor. Juga rumah.
Pak MG sering nunggui koran sampai selesai lewat tengah malam. Saat pulang, dia tinggalkan mobil Landcruiser-nya di kantor, dan naik mobil saya, Avanza merah. Alasannya mau ngecek kemampuan saya nyetir. Tapi, sebenarnya, mungkin saja Pak MG sudah ngantuk. “Kalau aku tertidur, berarti nyetirmu sudah bagus,” kata Pak MG.
Avanza merah itu ada ceritanya. Di Rakyat Merdeka, level manajer dan pemred itu ada jatah kendaraan. Tapi, tidak begitu saja diberikan. Ke saya Pak MG bilang, “Kalau kamu sudah bisa nyetir, saya belikan mobil,” janjinya. Saya bilang bisa. Tapi Pak MG nggak percaya. Saya dites dulu. Disuruh nyetir Innova biru punya Pak MG. Waktu itu, karena nervous, hampir nabrak separator jalan. Saya tahu, Pak MG yang duduk di samping saya, tegang. Tapi, dia malah menenang-nenangkan saya yang panik. Meski dianggap kurang meyakinkan, tapi akhirnya kantor membelikan saya Avanza merah.
Berita Terkait : Kepleset Nggak Apa, Asal Jangan Jatuh
Beberapa tahun sebelumnya, Pak MG memborong mobil baru. Dan dibagi-bagi untuk karyawannya. Tentu ada kriteria siapa yang mendapatkan ini. Daihatsu Taruna, saat itu tergolong kendaraan keren. Cocok betul dikendarai para manajer Rakyat Merdeka. Supaya tidak ada cemburu, karyawan level lainnya, diberi insentif. Tentu tidak seharga kendaraan baru, tapi dalam bentuk uang yang jumlahnya cukup. Namanya, tunjangan kendaraan. Tahun-tahun itu, pendapatan Rakyat Merdeka sedang bagus-bagusnya. Transisi dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Anak-anak usahanya banyak sekali. Hampir semua partai politik, punya koran atau tabloid yang dikelola Rakyat Merdeka Group, dan berkantor di Kebayoran Lama 17. Setelah era Daihatsu Taruna, Pak MG melanjutkan tradisi itu dan memborong Suzuki Jimmy. Juga dibagi lagi ke sejumlah redaktur RM.
Untuk saya, mobilnya Avanza merah itu. Saya selalu sedia CD dangdut. Pak MG suka mendengarnya sambil saya setiri. Kadang lirik lagunya dibahas. Salah satunya soal bunga. Kata Pak MG, bunga dahlia dan mawar merah, beda maknanya, dalam lagu dangdut. Mawar merah melambangkan kecintaan, dan hanya diberikan kepada orang yang dicintai. Tapi kalau bunga dahlia, melambangkan pujaan, kesayangan dan jadi rebutan. “Kadang ada kumbang yang jahat membuat layu bunga dahlia,” katanya. Saya sering ngakak-ngakak diceritai. Pak MG ada-ada saja.
“Saya suka semua jenis lagu, Nan. Dengar jazz saya menikmatinya sampai telinga. Kalau lagu rock, sampai mulut. Lagu pop, sampai dada. Tapi, dangdut bisa sampai hati dan jiwa,” katanya, waktu saya tanya kenapa suka lagu dangdut. Pak MG hafal ratusan lagu dangdut. Bahkan, lagu yang tak terlalu populer di telinga kita.
Berita Terkait : Yayuk Basuki Siapkan Program Asuransi Untuk Olympian
Sering juga saya diceritai Pak MG soal kesukaannya menikmati dangdut di kafe-kafe kecil. Kisahnya lucu-lucu. Kalau malam habis dari kafe itu, besoknya pasti ada cerita. Pernah ada yang penyanyinya kesurupan, sampai kisah yang nyerempet bahaya. “Semalam cafe dangdutnya diserbu, Nan,” kisah Pak MG. Dia bilang tiba-tiba saja ada keributan. Semua penonton lari. Pak MG nggak sempat. Dan ngumpet di balik tirai panggung. “Saya terduduk sama beberapa pemain band yang ketakutan,” katanya. Lalu terdengar teriakan dan ada banyak orang grubak grubuk naik ke panggung. Brak, brak, kreek. Suara peralatan band diobrak-abrik dan ada benda diinjak. “Aduuuuh, itu suling saya diinjak. Hancur deh.” Rupanya yang ngumpet bareng Pak MG itu ada pemain suling. Besoknya, semua perlengkapan band, termasuk suling dibelikan baru oleh Pak MG. Kasian, katanya, supaya mereka bisa bekerja lagi untuk keluarganya. Cerita-cerita unik seperti itu banyak. Dan sempat ingin dibukukan sama Pak MG. Katanya, judul buku yang pas: Raja Sawer. “Kamu saja nanti yang jadi editornya ya,” ujar Pak MG. Waktu itu saya cuma ketawa saja. Pak MG kan suka bercanda. Saya salut dengan kemurahan hati Pak MG, menolong orang, siapa saja. Dan kalangan mana saja.
Balik ke soal kendaraan. Mobil Pak MG banyak sekali. Macam-macam jenis. Dari yang kelasnya wah, sampai murah meriah. Selain Landcruiser, saya ingat ada Mazda hijau, Hyundai Atoz kuning, Innova biru dan coklat, Mercy seri A, sampai hardtop lama. Tidak semua mobil itu dibeli Pak MG. Ada juga pemberian. Ada dibeli baru. Bekas juga ada. Malah, Pak MG juga pernah membeli mobil milik karyawan yang lagi kepepet, butuh uang. Dibeli begitu saja sama Pak MG, nggak nawar harga.
“Saya punya 29 mobil,” katanya. Entah benar atau asal jawab, waktu saya tanya berapa mobil Pak MG. Kendaraan itu, tidak semuanya berada di rumah. Ada juga dikirim ke kampungnya, di Tulung Agung. Dipakai keluarga dan ibunya. Atau di titip di rumah sopirnya, dan bebas dipakai. Ada yang diparkir di kantor, sampai berbulan-bulan.
Pak MG beli mobil kadang spontan saja. Suatu saat, saya diajak Pak MG makan siang. Pulangnya, Pak MG minta disopirin ke daerah Jakarta Selatan, dan berhenti di depan dealer kendaraan. Masuk ke show room, Pak MG celingak celinguk memperhatikan jejeran mobil baru. Dia lalu tanya-tanya harga. Penjual melayani setengah hati. Mungkin karena yang dihadapi, pembeli dengan tampang kurang meyakinkan. Pak MG sandalan dan penampilannya cuek. Tahu-tahu dia keluarkan uang di kantong plastik, kresek. “Saya beli ini ya,” kata Pak MG sambil nunjuk Alphard hitam. Penjualnya kaget. “Maaf, Bapak ini juragan besi ya. Sepertinya dari Madura,” kata dia. Saya terkekeh-kekeh waktu itu.
Pak MG juga memikirkan tempat tinggal karyawannya. Sekitar tahun 2000, Rakyat Merdeka membeli 35 unit rumah di kawasan Gading Serpong. Seingat saya, harga rumah di Kawasan Catalina, waktu itu, tak sampai Rp40 jutaan untuk ukuran 72 meter persegi. Uang mukanya semua dibayarkan Rakyat Merdeka ke bank. Lalu, kepada karyawan, dibuatkan simulasi pembayaran yang tidak memberatkan. Cicilannya boleh pilih 400 ribu atau 500 ribu per bulan, disesuaikan gaji. Itu sudah termasuk mencicil uang muka dan bulanannya. Karyawan antusias. Pak MG pun membeli lagi unit rumah di Bekasi. Juga dengan skema yang sama.
“Di dalam pemberian itu ada cinta. Ada sayang,” kata Pak MG, suatu kali. Begitulah Pak MG. Kebaikannya selalu dikenang. Sampai sekarang, teman-teman Rakyat Merdeka yang tinggal di Kawasan Catalina sangat bersyukur dan senang. Nilai propertinya sudah naik ratusan kali lipat. Tapi lebih dari itu, ada cinta dan sayang Pak MG di dalamnya. (Ratna Susilowati, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka 2008-2015)
Tags :
Berita Lainnya