Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
24 Tahun Jadi Anak Buah Pak MG (1)
Kepleset Nggak Apa, Asal Jangan Jatuh
Minggu, 13 Februari 2022 21:50 WIB

RM.id Rakyat Merdeka - Folder tentang Pak MG (dibaca: em-ge), di kepala saya banyak sekali. Rasanya sedih, perih, saat harus membukanya satu demi satu. Saya menguatkan diri untuk menulis ini, setelah dua pekan Pak MG wafat. Apa yang saya ceritakan, hanya sedikit saja dari pengalaman 24 tahun menjadi anak buah Pak MG.
Ada masa-masa Rakyat Merdeka tidak memiliki pemimpin redaksi. Penanggung jawab koran saat itu adalah 16 redaktur eksekutif di setiap halaman. Kalau ada keberatan berita, yang bertanggung jawab langsung redakturnya. Pak MG-lah yang menciptakan struktur nyeleneh ini, sekitar tahun 2004. Ketika itu, redaksi mulai sering menerima gugatan dan somasi, karena judul-judul beritanya galak. Sejak struktur pemred ditiadakan, para redaktur tidak berani lagi kerja asal-asalan. Kalau ngedit berita sekedarnya, maka siap-siaplah ada yang kirim surat keberatan, lalu dipanggil pemeriksaan.
Pada 2008, Pak MG mengubah nomenklatur ini. Jadi normal. Penanggungjawab koran ditunjuk satu orang sekaligus menjadi pemimpin redaksi, seperti lazimnya penerbitan lain. Sebagai Dirut, dia sebetulnya tinggal nunjuk saja, siapa yang cocok dari 16 redaktur eksekutif. Tapi, cara Pak MG tidak begitu.
Semua redaktur diberi waktu sepekan untuk berpikir, lalu disuruh menulis satu nama di secarik kertas, siapa yang pantas jadi Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka. Maka, terjadilah kehebohan. Muncul manuver dan faksi-faksi pendukung calon. Saya, sebagai Manajer SDM, ditugasi Pak MG, mengumpulkan semua kertasnya.
Posisi saya, ketika itu, memang bukan orang redaksi. Empat tahun sebelumnya, saya dimutasi Pak MG, dari redaktur halaman 1 Rakyat Merdeka, jadi ngurusi karyawan dan pemasaran. Juga disuruh ke percetakan, turun ke lapak-lapak, nagih utang agen di waktu dini hari hingga jelang subuh. Mutasi itu sempat bikin saya syok. Biasa liputan, kok disuruh ngurus ginian. Tapi Pak MG bilang, saya masih boleh nulis. Bahkan, Pak MG juga yang bikin jadwal kerja saya.
“Begini saja Nan. Jam kerjamu, siang sampai jam 5 sore ngantor di SDM. Lalu sore sampai malam, boleh ke redaksi kalau ada yang mau ditulis atau bantu editing redaksi. Setelah itu ya ke percetakan. Lihat distribusi dan pemasaran koran ke agen-agen, lancar apa nggak. Setelah itu subuh pulang dan istirahat. Jam 12-an siang ngantor lagi,” katanya. Pak MG selalu panggil saya Nan.
Berita Terkait : Imin Dan NU Seperti Layangan Putus?
Dasar Pak MG, dalam hatiku. Untuk mengurusi balita di rumah, jadinya saya jungkir balik mengatur waktu. Kalau malam ini ke redaksi, berarti pagi tidak turun ke agen. Atau sebaliknya. Kalau harus turun ke percetakan sampai agen, berarti hari itu saya absen ke redaksi.
Begitulah Pak MG mendidik saya. “Kerja itu mesti ngekepin,” katanya. Ngekepin itu bahasa Jawa. Artinya mendekap, sepenuh hati. Filosofinya, peduli pada keluarga, ya berarti sepenuh hati saat bekerja.
Kembali ke penunjukkan pemimpin redaksi. Ketika kertas sudah terkumpul semua, saya laporkan. Ada dua nama dominan, dengan jumlah suara hampir sama. Pak MG senyum saja. Lalu dia bilang, “Kamu saja yang jadi Pemimpin Redaksi.” Saya melongo. “Hah, Bapak nggak salah? Saya sekarang bukan orang redaksi. Lagi pula tak satu pun redaktur menuliskan nama saya.” “Kamu bisa, Nan. Cukup tiga tahun saja jadi pemred,” jawabnya.
Maka, jadilah saya kembali ke redaksi. Dan, tahun-tahun pertama, Pak MG seperti memberikan pelatihan khusus pada saya. Trik membuat judul dan angle yang eye catching. Masa itu, Pak MG bersemangat melahirkan kekhasan baru Rakyat Merdeka. Judul-judul yang galak dan oposan, pelan-pelan berubah nyeleneh, nyentil dan usil. “Supaya cocok dengan Pemred Rakyat Merdeka, yang perempuan,” katanya. Prinsipnya, tetap kritis dengan gaya berbeda.
Kadang saya tidak sreg dengan judul yang dibuat Pak MG. Kuatir disomasi atau digugat. Karena alasan itulah, saya kadang mengganti judul yang dibuat Pak MG. Besoknya, saya siap-siap ditegur atau malah tidak ditanya sama sekali. Mungkin Pak MG marah. “Judulmu nggak lebih bagus dari yang kubuat,” katanya. Saya biasanya diam saja. Pikir saya, enak betul Pak MG bikin judul, besoknya sayalah yang bakalan kena semprot orang. Dan itu seringkali saya alami. Pernah pagi-pagi baru melek, sudah ada pejabat tinggi yang memaki-maki dan mengancam somasi. Duh, nasib.
“Saya takut kita kepleset, Pak,” kata saya, suatu kali. Tapi, Pak MG mengajari keberanian dan nekat yang terukur. “Kepleset nggak apa, yang penting tidak jatuh,” ucapnya, suatu kali. Soal judul yang kerap nyeleneh, atau beda dengan yang dipikiran kebanyakan orang, Pak MG bilang gini. “Sisakan tempat di hati kita, untuk orang yang suaranya berbeda. Supaya jalan pikiran kita imbang,” katanya.
Pak MG, pemimpin yang menengahi. Di antara yang beda pendapat, Pak MG tak pernah memihak. Termasuk saat pilpres, misalnya. Di ruang redaksi dibebaskan, isi beritanya mau pro pasangan yang mana. Sehingga, di hari yang sama, berita halaman 1 bisa beda nuansa dengan halaman di dalamnya. Halaman satu mendukung si A, sebaliknya halaman dalam mendukung si B. Perbedaan pandangan yang tajam itu, lucunya ditengahi Pak MG dengan menggelar “pemilu” di kantor. Semua redaktur dan reporter disuruh masuk ke bilik suara yang dibuat seperti di TPS. Lalu menuliskan siapa pasangan capres-cawapres yang dijagokan. Hasilnya, mirip-mirip jugalah dengan hasil survei waktu itu.
Berita Terkait : Tindak Pelaku Kekerasan Seksual, Aparat Jangan Tebang Pilih!
Sikap tidak memihak itu terus ditunjukkan, sampai saat pencoblosan pertarungan Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta. Di hari pemilu, Pak MG memutuskan membuat dua headline di koran Rakyat Merdeka. Sebelah kiri untuk Prabowo-Hatta, dan sebelah kanan untuk Jokowi-JK. “Yang berpeluang menang, ukurannya digedein dikit,” katanya. Saat itu sempat jadi perdebatan di ruang redaksi. Ada yang kesal. Tapi sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, keputusan Pak MG ada baiknya.
Saya menjadi reporter Merdeka (yang kemudian menjadi Rakyat Merdeka), sejak 1998. Kordinator Liputannya saat itu Putra Nababan (kini anggota DPR RI). Berita yang saya tulis, tiap sore termasuk yang dibaca Pak MG, langsung di layar lay out. Saya deg-degan. Sebab, kalau tidak lengkap, malam itu juga disuruh wawancara ulang, atau cari narasumber tambahan.
Selama 24 tahun menjadi anak buah Pak MG, saya, tidak pernah dimarahi langsung. Sekesal-kesalnya Pak MG, dia paling bikin coretan merah di kertas koran. Tepat di artikel yang dianggap buruk. Menghindari kena marah, saya lebih sering ngaku salah, sebelum ketahuan. Pak MG paling ngangguk-ngangguk saja. Nggak mungkin marah sama orang yang sudah ngaku salah, kan.
Pada 2015, Pak MG menunjuk Pemred baru. Saya pun melepaskan jabatan itu setelah tujuh tahun, bukan tiga tahun seperti yang dia rencanakan. Beberapa tahun terakhir, sebetulnya judul-judul Rakyat Merdeka sudah diracik sendiri. Pak MG sesekali memberi usulan. Tapi lebih banyak hasil pemikiran bersama tim redaksi. Ibarat masakan, sudah tahu berapa banyak garam supaya tidak terlalu asin. Atau berapa banyak gula agar tidak kemanisan.
Saya bertemu Pak MG, sepekan sebelum masuk rumah sakit. Di lobi Intermark BSD, staf Pak MG memanggil saya. “Teh Nan, dipanggil Bapak,” kejarnya. Saya samperin. Dari balik jendela mobil, Pak MG melihat saya, lalu bilang, “Nan, daah,” katanya, pendek. Saya kira Pak MG waktu itu bercanda. Tapi, rupanya, itulah ucapan terakhir untuk saya. Selamat jalan Bapak.
Ditulis oleh:
Berita Terkait : Jika Anak Batuk Pilek, Jangan Sekolah Dulu
Ratna Susilowati
Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka (2008-2015)
Tags :
Berita Lainnya