Dark/Light Mode

Hilirisasi Industri Sawit Berkelanjutan Harus Ikuti Pedoman SDGs

Minggu, 23 Oktober 2022 07:57 WIB
Industri kelapa sawit/Istimewa
Industri kelapa sawit/Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah terus mendorong industri sawit berkelanjutan dari hulu hingga hilir.

Industri sawit berperan penting untuk perekonomian Indonesia, dengan kinerja perdagangan kelapa sawit yang terus meningkat. Industri itu juga melibatkan banyak pelaku usaha dari berbagai kelompok ekonomi. 

Menurut Airlangga, pengembangan industri hilir merupakan upaya strategis meningkatkan nilai tambah industri kelapa sawit agar tidak hanya terkonsentrasi pada bahan baku, tetapi perlu terus didorong ke industri hilir bahkan sampai produk akhir. 

“Dengan upaya ini, nilai tambah akan berada di dalam negeri,” tegas Ketua Umum Golkar itu.

Guru besar IPB University Rachmat Pambudy menerangkan, hilirisasai industri sawit berkelanjutan perlu berpegang pada Sustainable Development Goals (SDGs). Beberapa di antaranya, pembangunan tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, energi bersih dan terjangkau, penanganan perubahan iklim, serta berkurangnya kesenjangan.

Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu melakukan beberapa tahapan dan langkah. Pertama, pemerintah menjamin hak atas tanah para petani sawit kecil. Para petani sawit diberikan sertifikat hak milik atas tanah yang digunakan dalam berkebun sawit tersebut. 

"Pertama-tama, Pak Airlangga harus memperhatikan petani sawit. Pertama yang diperhatikan adalah hak atas tanah. Bentuknya hak milik," jelasnya.

Baca juga : Pelaku Industri Asuransi Desak Pemerintah Bentuk Lembaga Penjamin Polis

Sesudah itu, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan dan keteraksesan sarana produksi pertanian. Seperti bibit berkualitas, pupuk bagus, saluran irigasi mumpuni, akses pembiayaan hingga jaminan harga layak.

"Pemerintah harus menjamin bibit bagi petani sawit. Pupuk, irigasi, kredit yang layak dan pantas, harga yang bagus. Jadi, ada harga minimum TBS (Tandan Buah Segar)," ujarnya.

Menurut Rachmat, pemerintah juga perlu mendorong realisasi industri hilir yang dimiliki petani. Hal itu penting untuk menjamin terlaksananya hilirisasi industri berkelanjutan.

“Ada industri hilir yang dimiliki petani. Petani harus punya industri hilir," ungkapnya.

Hilirisasi juga tidak lantas berhenti pada CPO (Crude Palm Oil), tapi berlanjut sampai minyak goreng. Ketika itu berhasil dilakukan, hilirasasi industri sawit berkelanjutan pun akan terwujud.

"Hilirisasi sampai ke industri hilir, sehingga ada efisiensi dari hulu, on farm hilir yang miliknya petani. Kalau itu terjadi, maka SDGs akan terjadi," pungkasnya.

Kesejahteraan Buruh

Baca juga : Investasi Industri Petrokimia Naik, Kemenperin Siapkan SDM Kompeten

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mendorong pemerintah memperhatikan nasib buruh perkebunan sawit. 

Kata dia, RUU Perlindungan Buruh Pertanian dan Perkebunan masih antre masuk Prolegnas. Minimal ada upaya untuk menjaga keselamatan para buruh.

“RUU ini mandek sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua sampai sekarang. Padahal, dilihat dari kelompok layanan, yang bisa berdampak sudah 20 juta,” kata pria yang akrab disapa Rambo itu, Jumat (21/10). 

Jumlah buruh sawit diperkirakan 7-10 juta orang, beserta keluarga mereka bisa sampai 20 juta orang. Meski begitu, pemerintah masih bisa mengupayakan nasib para buruh sawit agar lebih membaik. 

“Pertama, perhatikan keselamatan kerja. Ini penting karena banyak terjadi sesuatu hal, seperti kecelakaan kerja, buruh tidak terurus.” kata Rambo. 

Dia juga meminta Pemerintah Pusat dan daerah memperbanyak pengawas perkebunan.

“Pengawas kurang dari 10 pada satu kabupaten. Padahal yang perlu diurus kan banyak,” tambah Rambo.

Baca juga : G20, Komitmen RI Pulihkan Industri Penerbangan Pasca Pandemi

Selanjutnya, Pemerintah Daerah khususnya, jangan lepas tangan atas masalah yang dialami buruh. Buruh bukan hanya tugas Dinas Pertanian dan Perkebunan, juga ada yang menjadi urusan Dinas Tenaga Kerja. 

Rambo menyoroti rendahnya Pemerintah Daerah mengadopsi kerangka kerja Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). 

“Dari 25 provinsi yang memiliki tutupan sawit, yang mengadopsi baru 9 provinsi dan 14 kabupaten,” kata Rambo. 

Sehingga, rencana aksi nasional ini sekadar jadi ‘macan kertas’ jika Pemerintah Pusat maupun daerah tidak mengimplementasikannya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.