Dark/Light Mode

Pelabelan BPA Pada Galon Guna Ulang Disebut Diskriminatif

Kamis, 17 November 2022 23:48 WIB
Diskusi bertajuk Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi, di Jakarta, Kamis (17/11). (Foto: Istimewa)
Diskusi bertajuk Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi, di Jakarta, Kamis (17/11). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wacana pelabelan Bisphenol A (BPA) pada galon guna ulang terus menuai kontroversi di kalangan akademisi. Draf awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya yakni, kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat. Hal ini disampaikan dua pakar lintas keilmuan yakni pakar nutrisi dan polimer pada diskusi bertajuk “Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi”, di Jakarta, Kamis (17/11).

“Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum. Jadi bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelas Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Ahmad Sulaeman, dalam diskusi tersebut.

Baca juga : Mensos Usulkan Layanan City Car Untuk Disabilitas di Jakarta

Sejumlah fakta yang ada di antaranya kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari air minum dalam kemasan (AMDK) dengan suplai 29 miliar liter per tahun. Sementara, menurut data UNICEF, hampir 70 persen sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses. Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri Ecoli.

“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya. Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof Sulaeman.

Baca juga : Pelita Air Gelar Talkshow Traveling di Sarinah

Kendati begitu, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA. Ahli polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin mengkritik narasi yang dibangun tersebut. Ia menyampaikan, kebijakan ini cenderung diskriminatif.

“Jadi, kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya. Terkait bahaya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi, dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.