Penjajakan Kerja Sama Dipatok Tuntas Awal 2021

 Sebelumnya 
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, kebijakan hilirisasi akan memberi nilai tambah terbesar, jika produk akhir bukan hanya hasil tambang. Dan, smelting bukan berupa produk seperti Nickel Pig Iron (NPI), Ferro Nickle dan Nickel Matte, tetapi juga sampai pada berbagai proses fabrikasi produk jadi.

Hanya saja, lanjut Marwan, dalam kebijakan hilirisasi, biasanya terkait erat dengan masalah eksploitasi. Karenanya, bijih sebagai input smelter nikel harus termanfaatkan secara optimal tanpa ada yang terbuang.

Baca juga : Mandiri Syariah Raih Penghargaan Kinerja QRIS Terbaik dari BI

“Termasuk, jenis smelter yang digunakan pun harus tepat, input dan output harus sesuai,” imbaunya kepada Rakyat Merdeka. Merujuk data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Juni 2020, cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4,59 miliar ton.

Berdasarkan U.S Geological Survey, Indonesia menjadi negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Atau sebesar 24 persen, disusul Australia 23 persen, Brazil 12 persen, Rusia delapan persen, dan Cuba lima persen.

Baca juga : Ringankan Industri Di Tengah Pandemi, Apkasindo Minta Bea Keluar Sawit Di Tunda

Dia berharap, agar porsi atau kepemilikan saham perusahaan pelat merah, lebih besar dalam kerja sama yang akan terjalin dengan perusahaan asing.

“Ini untuk memudahkan BUMN mengambil kebijakan perusahaan. Jangan sampai, perusahaan asing yang mendominasi,” tukasnya. [IMA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.