Dark/Light Mode

Meneguhkan Asta Cita: Jalan Reformasi Menuju Manajemen Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa

Senin, 21 April 2025 08:34 WIB
Prof. Dr. Ermaya Suradinata
Prof. Dr. Ermaya Suradinata

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menandai fase penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dengan menetapkan delapan misi utama yang dikenal sebagai Asta Cita, pasangan ini menegaskan komitmennya untuk mewujudkan negara yang kuat, adil, dan berdaulat. Serta, memperkokoh ideologi Pancasila. 

Salah satu pilar krusial dari Asta Cita adalah reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta pemberantasan korupsi dan ­narkoba. Agenda ini bukan sekadar daftar janji, melainkan cerminan dari kebutuhan men­desak ­bangsa untuk memperkuat fondasi ­tata kelola pemerintahan demi mewujudkan cita-cita ­nasional Indonesia Raya. 

Reformasi di bidang politik, hukum, dan birokrasi tidak dapat dipahami hanya sebagai kebijakan administratif semata. Ia merupakan upaya sistematis untuk menata ulang relasi antara negara dan warganya. Dalam konteks politik, reformasi yang dimaksud harus mengarah pada peningkatan kualitas demokrasi substantif, yakni demokrasi yang tidak hanya prosedural tetapi juga menjamin partisipasi bermakna, perlindungan hak asasi manusia, dan distribusi keadilan sosial. 

Sementara itu komitmen ter­hadap pemberantasan korupsi dan narkoba, yang dinyatakan oleh pasangan Prabowo-­Gibran, juga harus dimaknai dalam kerangka tata kelola yang lebih luas. Korupsi tidak hanya berdampak pada kerugian negara ­secara finansial, tetapi juga merusak legitimasi pemerin­tahan, mengikis kepercayaan publik, dan menghambat pembangunan. Begitu pula ­dengan persoalan narkoba, yang ­tidak hanya menjadi ­ancaman ­keamanan nasional tetapi juga merusak tatanan sosial dan produktivitas generasi muda. 

Baca juga : Pertemuan Prabowo Dan Megawati:Fondasi Persatuan Bangsa Di Tengah Geopolitik Global

Oleh sebab itu, pendekatan yang diambil tidak bisa semata-mata bersifat represif, melainkan juga harus komprehensif—menggabungkan aspek pene­gakan hukum, edukasi, rehabilitasi, serta pemberdayaan ­masyarakat. Di sinilah pentingnya membangun kerja sama ­lintas sektor: antara penegak ­hukum, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan aparat peme­rintah daerah. Se­hingga peme­rintahan yang bersih dan berwibawa bukanlah sebuah retorika politik, melainkan prasyarat mendasar bagi ­negara yang ingin mem­bangun ­peradaban unggul.

Pemerintahan yang bersih, adalah pemerintahan yang ­mampu menjalankan fungsi publik secara jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Ia menjauhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok. Pemerintahan yang berwibawa juga bukan berarti represif, melainkan memiliki integritas moral dan etika yang tinggi sehingga dihormati oleh rakyat. Pemerintahan yang berwibawa akan berani mengambil keputusan yang benar –sekalipun tidak populer, demi kepen­tingan jangka panjang bangsa. 

Dalam wacana pem­bangunan tata kelola global, istilah good and clean governance menjadi standar ideal yang banyak di­adopsi oleh negara-negara berkembang. Menurut definisi UNDP, good governance mencakup elemen partisipasi masyarakat, supremasi hukum, transparansi, daya tanggap terhadap kebutuhan rakyat, orientasi konsensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi strategis. 

Di sisi lain, clean governance menekankan pentingnya kebersihan institusi dari segala bentuk penyalahgunaan ke­kuasaan. Dalam konteks Indonesia, kedua prinsip ini harus diterjemahkan dalam kebijakan yang konkret: mulai dari digitalisasi pe­layanan publik, penguatan lembaga pengawas independen, hingga pelibatan aktif masyarakat sipil dalam perencanaan dan ­pengawasan anggaran. 

Baca juga : Diplomasi Bermartabat Jalan Tengah Kemanusiaan

Namun, implementasi prinsip good and clean governance tidak selalu berjalan mulus. Indonesia menghadapi tantangan struktural dan kultural yang kompleks. Masih kuatnya patronase politik, resistensi birokrasi terhadap perubahan, serta lemahnya sistem pengawasan membuat agenda reformasi sering kali bersifat parsial dan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintahan Prabowo-Gibran harus mengusung reformasi sebagai gerakan nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan—bukan semata proyek teknokratis. 

Diperlukan kemauan politik yang kuat (political will), kapasitas kelembagaan yang andal, serta kepemimpinan yang memberi teladan dalam etika publik. Lebih dari itu, pengarusutamaan nilai-nilai antikorupsi harus dilakukan sejak dini melalui sistem pendidikan dan kebudayaan. Masa depan demokrasi dan pem­bangunan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas pemerintahan yang dijalankan.

Jika pemerintahan mampu merealisasikan prinsip-prinsip good and clean governance se­bagaimana digariskan dalam Asta Cita, maka Indonesia akan melangkah lebih jauh dalam memperkuat kepercayaan ­publik, meningkatkan efisiensi layanan publik, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Peme­rintahan yang bersih akan membuka jalan bagi investasi yang sehat, sedangkan pemerintahan yang berwibawa akan mampu menjaga stabilitas politik dan ketertiban hukum. 

Semua ini merupakan prasyarat bagi Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan me­nengah (middle power) yang di­hormati di kawasan dan dunia. Dalam konteks ini, penguatan kapasitas institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI, Lembaga ­Administrasi Negara (LAN), dan lembaga peradilan menjadi sangat vital. 

Baca juga : Perang Posmodern Dan Peluang Indonesia Di Era Geopolitik Trump

Selain itu, peran tek­nologi ­digital perlu dimaksimalkan dalam menciptakan ­biro­krasi yang terbuka, cepat, dan res­­ponsif. Pemerintah juga harus men­ciptakan ruang dialog yang terbuka antara negara dan masyarakat, karena hanya ­dengan partisipasi aktif ­publiklah legi­timasi dan efektivitas kebijakan dapat dijaga secara berkelanjutan.

Pemerintahan yang baik bukanlah sebuah keadaan yang statis, melainkan proses yang terus-menerus diperjuangkan dan disempurnakan. Asta Cita memberikan kerangka yang menjanjikan bagi arah peme­rintahan Prabowo-Gibran ke depan, namun implementasinya memerlukan konsistensi, keberanian moral, dan kolaborasi lintas sektor. 

Sejarah akan mencatat, apa­kah pemerintahan ini berhasil meneguhkan komitmennya ­untuk menjadi pemerintahan yang tidak hanya kuat dalam retorika –tetapi juga tangguh dalam integritas dan tanggung jawab publik. Sehingga mampu untuk menghadapi peru­bahan geopolitik global, lantas manajemen tata kelola pemerin­tahan tetap stabil dan terkendali. Semoga perjalanan lima tahun ke depan menjadi momentum konsolidasi tata kelola demokrasi ­Indonesia yang bersih, berwibawa, dan berpihak pada rakyat. 

Prof. Dr. Ermaya ­Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan ­Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI ­(1998-2000). Kini menjabat Ketua ­Dewan ­Pembina Center for ­Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.