Dark/Light Mode

Hindari Salah Persepsi, Akademisi Usul Gencarkan Sosialisasi KUHP Baru

Kamis, 12 Januari 2023 21:39 WIB
Sosialisasi KUHP yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1). (Foto: Ist)
Sosialisasi KUHP yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1). (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia akhirnya berhasil merampungkan penyusunan KUHP baru untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Disusun oleh anak bangsa sendiri, dan dengan paradigma hukum pidana negara berdaulat yang modern dan berperadaban luhur,  KUHP ini diundangkan 2 Januari lalu sebagai  UU No. 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Karena itulah, KUHP baru ini, menurut Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Dr. R. Benny Riyanto, layak disebut KUHP nasional. Kehadirannya patut disambut baik dan harus benar-benar disosialisasikan ke tengah masyarakat.

"KUHP nasional ini akan mulai berlaku efektif tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Selama masa transisi itu, kita akan terus mensosialisasikan substansi KUHP ini kepada seluruh masyarakat serta aparat penegak hukum agar tidak terjadi salah penafsiran serta meminimalisir penyalahgunaan kewenangan. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga akan mempersiapkan berbagai peraturan pelaksanaan,” papar Prof. Benny di sela acara Sosialisasi KUHP yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1).

Prof. Benny bahkan mengusulkan perlunya  training of trainers agar para akademisi,  praktisi dan penegak hukum betul-betul menguasai norma, semangat, serta nilai-nilai yang dikandung KUHP nasional ini. "Ini merupakan sarana pemahaman kepada para stakeholder yang terlibat, terutama penegak hukum. Karena ini kan merupakan suatu modernisasi sistem hukum Indonesia. Tidak hanya penegak hukum saja, tetapi para akademisi juga, kedepannya perlu kita melakukan training of trainers (ToT) kepada para seluruh stakeholder yang ada," ujarnya.

Baca juga : Welcome, KUHP Karya Anak Bangsa

Menurut Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D, kesalahan persepsi yang sempat muncul antara lain terkait diakuinya hukum adat (living law) dalam KUHP baru.  Hal ini seharusnya diapresiasi sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara kepada masyarakat hukum adat, sebagaimana juga diakui dalam UUD 1945. 

“Akan tetapi sementara ini memang ada kekeliruan persepsi di sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa dengan adanya pengakuan terhadap living law, maka terjadi lah penyimpangan atas asas legalitas. Ini yang perlu diluruskan. Karena baru bisa disebut living law bila memang merupakan suatu ketentuan yang masih hidup di masyarakat dan ini ditemukan secara ilmiah oleh para peneliti. Jadi tidak boleh nanti DPRD atau pemerintah meletakkan ketentuan dalam perda tanpa adanya bukti ilmiah bahwa ketentuan tersebut masih hidup dalam masyarakat,” ujar Prof. Harkristuti. 

Dalam pandangan Ketua Umum MAHUPIKI, Yenti Garnasih, wajar bila dalam proses penyusunan KUHP nasional ini banyak ditemukan pro dan kontra. Hal ini tak terlepas dari kebinekaan Indonesia yang memiliki beragam etnis, agama dan kultur. Namun KUHP baru yang berhasil diundangkan pada 2 Januari menjadi UU No. 1/2023 ini cukup berhasil mempertemukan semua kepentingan tersebut. 

"KUHP Nasional ini sudah semaksimal mungkin berupaya mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat dan negara. Khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat dan kebebasan ekspresi," ujar Yenti Garnasih.

Baca juga : Kudu Cerdas Pas Memilih Dan Menyenangkan Dong...

Begitu pun KUHP baru ini dapat disebut sebagai pembaruan hukum pidana Indonesia dari hukum produk kolonial berusia ratusan tahun menjadi sistem hukum pidana modern. Hal ini, antara lain, ditandai dengan digunakannya paradigma hukum pidana modern yang menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. 

"Salah satu contohnya adalah pengaturan KUHP yang bersifat humanis dengan mengakhiri pro dan kontra dari penjatuhan pidana mati. Setelah 10 tahun itu akan dilihat apakah tetap pidana mati ataukah dipindahkan ke pidana seumur hidup. Jangan sampai orang sudah dipidana 28 tahun penjara, eh besoknya dipindahkan ke pidana mati juga. Nah, hal seperti itu untuk menjaga kesewenang-wenangan dari penegakan hukum," lanjut Yenti.

Yenti berharap KUHP baru ini juga akan menyelesaikan persoalan banyaknya tindak pidana ringan yang dikenakan secara berlebihan kepada masyarakat, terutama masyarakat kecil yang kerap rentan terhadap ancaman pidana.

"Semoga tidak terjadi lagi hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Terutama misalnya untuk masyarakat miskin yang mencuri karena masalah ekonomi itu seharusnya bisa ditemukan solusi ancaman pidana yang lebih ringan, sehingga tidak ada di LP itu isinya hanya masyarakat biasa yang pidananya ringan," tambahnya.

Baca juga : Peduli Sampah Plastik, Ajinomoto Luncurkan Fasilitas Waste Station

Yenti juga berkeyakinan penerapan KUHP yang telah coba disusun sejak puluhan tahun ini tidak akan menganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan dan investor asing, selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yang diusung KUHP.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.