Dark/Light Mode

Kominfo Gelar Sosialiasi Pemberantasan Terorisme Di KUHP Baru

Jumat, 16 Desember 2022 09:48 WIB
Seminar Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun. (Foto: Ist)
Seminar Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik terus menggenjot sosialisasi UU KUHP. Salah satunya mengenai pemberantasan terorisme.

Kominfo menggelar talkshow dengan tema “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun”. 

Kominfo menggandeng Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan Kominfo, Bambang Gunawan mengatakan, pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan gambaran menarik tentang perjalanan politik hukum pidana Indonesia dalam melakukan pemberantasan tindak pidana serius. 

Menurutnya, pembaharuan kebijakan terorisme dilakukan dengan mengubah dari tindakan represif berupa ancaman pidana maksimal, pidana mati, atau pidana seumur hidup menjadi suatu tindakan preventif. “Kondisi ini diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2003,” jelasnya.

Ia juga mengatakan, upaya pencegahan tindak terorisme sebagai suatu isu global di Indonesia, juga direspon dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang pencegahan pendanaan terorisme.

Baca juga : Pemerintah Harus Antisipasi Pelemahan Ekonomi Global

Bambang mengatakan, lahirnya KUHP Baru di Indonesia yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu menjadi momentum strategis. Sebab, menandakan bahwa politik hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan dan pergeseran dari kolonial menjadi progresif.

“Salah satu di antaranya berkaitan dengan ketentuan mengenai terorisme dan pendanaan terorisme bersama dengan beberapa tindak pidana lainnya, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika, dan tindak pidana perdagangan orang,” jelas Bambang.

Di akhir sambutannya, Bambang menjelaskan bahwa lahirnya KUHP juga dapat menggambarkan adanya pergeseran politik hukum pidana, khususnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana terorisme.

“Harapannya, talkshow ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pemberantasan terorisme dalam KUHP Baru,” kata Bambang.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim mengatakan, pada akhirnya Indonesia memiliki KUHP asli buatan bangsa setelah menunggu puluhan tahun. Ia juga menyampaikan soal pentingnya talkshow kali ini, sehubungan dengan pengesahan KUHP baru oleh DPR.

“Talkshow ini mengangkat tema yang spesifik dan relatif jarang dibicarakan dan ini menjadi penting, karena di sini kita bisa melihat kebijakan anti terorisme dan pendanaan terorisme ke depan dengan berlakunya KUHP Baru,” kata Edmon.

Baca juga : KNKT Gelar 49 Investigasi Kecelakaan di 2022

Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG, Muhammad Syauqillah mengatakan, ideologi Anti Pancasila ada di seluruh varian organisasi radikal terorisme di Indonesia. Menurutnya, hal ini menjadi menarik karena di dalamnya terdapat penyebaran ideologi serta berkaitan dengan studi dan hal tersebut tidak dimasukkan dalam delik pidana.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, selain demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi, salah satu misi utama lain yang ada di dalam KUHP Baru adalah rekodifikasi terbuka dan terbatas.

Ia juga mengatakan bahwa prinsip rekodifikasi terbuka dan terbatas hanya berlaku untuk lima Tindak Pidana Khusus, yakni Tindak Pidana Berat terhadap HAM, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Tindak Pidana Narkotika.

Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror, Imam Subandi mengatakan, yang paling perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP Baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan pasal atau sanggahan pasal.

“Mudah-mudahan terjadi kesamaan, makanya sosialisasi seperti ini yang digagas oleh Kominfo bagus sekali, supaya nanti audiens terlibat di dalam criminal justice system,” jelasnya.

Direktur Hukum Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim mengatakan perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Ia mengatakan bahwa pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.

Baca juga : Kominfo Ajak Publik Diskusi Pemberantasan Terorisme Di KUHP Baru

“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.

Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rahmat Sori Simbolon mengungkapkan bahwa di tahun 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.

Mengenai deradikalisasi, Rahmat mengatakan, proses itu dimulai ketika para pelaku terorisme telah ditangkap. Menurutnya, disadari atau tidak, perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh petugas rutan dan lapas yang bersikap baik, sebenarnya merupakan salah satu bentuk deradikalisasi.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.