Dark/Light Mode

Catatan Elpa Hermawan

Media Konvensional, Medsos, dan Upaya untuk Terus Bertahan

Jumat, 28 Juli 2023 23:49 WIB
Tumpukan koran di lapak/Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Tumpukan koran di lapak/Ilustrasi (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Era 2000-an menjadi tonggak penting dalam bagian kehidupan manusia, yang mulai dipermudah dengan internet yang menyajikan banyak hal secara cepat dan lebih mudah diakses. Meski pada satu sisi ada banyak kebaikan yang dibawanya, internet juga bagai ranjau yang meledakkan beberapa sendi dan tulang punggung arus informasi di dunia, termasuk di Indonesia.

Pada medio ini, satu per satu media cetak, yang dulu berjaya dan bergaya, terombang ambing hingga gulung tikar setelah bersusah payah mencari iklan yang mulai seret. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa di atas tahun 2010, berita-berita mengenai tutupnya media cetak raksasa, radio bahkan televisi, sudah semakin sering kita dengar. Dimulai dari mengecilkan skala bisnis dengan mengurangi halaman untuk meminimalkan ongkos produksi, banyak media cetak tanah air mengencangkan ikat pinggang dengan tayang tak sesering dulu lagi.

Dari yang tayang harian menjadi mingguan, dan pada akhirnya hanya menjual versi e-paper yang jumlah pembelinya sangat segmented dan sedikit. Hingga akhirnya, benar-benar menutup “warungnya”, dan melepas semua talent-talent hebatnya dari level jurnalis, desain, marketing, distribusi hingga berbagai staf lainnya.

Sedang pada saat yang berbarengan, media online yang berbasis internet mulai bergeliat tumbuh dan dengan cepat mendapatkan pembaca yang sudah jauh dipermudah dengan bisa mendapatkan informasi hanya dari genggaman tangan. Media-media online di Indonesia tumbuh bak jamur di musim hujan, yang membawa pembaca untuk sesegera mungkin meninggalkan kertas dan layar kaca, juga tayangan tak bisa diulang ala radio yang harus ditongkrongi.

Perumbuhan pembaca di media online ini juga berjalan seiring dengan tumbuhnya minat mencari, membagikan dan interaksi masyarakat di media sosial yang dimiliki dan dikelola secara pribadi dan independen.

Hasil dari ini semua adalah soal uang. Media hidup dari iklan, dan jika para pemasang iklan ini berpindah rumah, media konvensional bakal sangat kelabakan. Bahkan menjadi terkesan tua, lambat, lamban dan jadul, hingga menunggu waktu untuk mati.

Keadaan runyam dalam lebih dari 10 tahun terakhir itulah yang membuat Presiden Jokowi pun merasa harus bersikap. Karena keberlangsungan hidup media konvensional yang sedang di ujung tanduk, akibat belanja iklan yang mereka terima makin hari makin memilukan. Apalagi, pos uang besar itu kini direbut platform digital yang sudah pasti dimiliki asing.

Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional tahun 2023 di Medan Sumatera Utara, Kamis 9 Februari lalu, Jokowi mengungkapkan bahwa sekitar 60 persen belanja iklan media telah diambil alih oleh media digital raksasa seperti Google, YouTube, TikTok, Instagram, dan Facebook yang ini akhirnya membuat napas media konvensional terengah-engah.

Baca juga : Ganjaran Buruh Berjuang Adakan Pelatihan Medsos Buat Bisnis dan Usaha

Padahal jika ditilik dari laporan Nielsen Indonesia, tren belanja iklan nasional sebetulnya terus naik dalam 4 tahun belakangan ini. Nielsen mengungkapkan bahwa total belanja iklan pada semester I-2022 mencapai Rp 135 triliun atau naik 7 persen dari tahun ke tahun, yang setahun lalu sekitar Rp 127 triliun.

Dari data awal ini, menunjukkan performa apik dari para pengiklan yang mulai pede dan bergairah kembali usai pandemi Covid-19. Nah, dari kue iklan nasional di atas jika kita bagi, maka televisi mendapatkan kue terbesar, nyaris 80 persen, atau tepatnya di angka 79,7 persen dengan kenaikan 8 persen secara tahunan. Atau mencapai Rp 107 triliun.

Porsi kedua diikuti media digital dengan kontribusi 15,2 persen atau naik 6 persen secara tahunan atau mencapai Rp 20,5 triliun. Apesnya, media cetak merana karena mengalami penurunan 6 persen, dan hanya mendapat 4,8 persen saja. Sedangkan radio turun sejauh 13 persen, dan hanya mendapat porsi 0,3 persen saja. Jauh, kecil!

Nielsen Indonesia juga menemukan bahwa pengiklan dengan belanja akumulasi sebesar itu datang dari segmen layanan online, perawatan rambut dan wajah, lalu disusul oleh segmen seasoning and condiment, dan belanja iklan pemerintah dan organisasi politik.

Disrupsi belanja iklan tanah air oleh platform asing ini diungkapkan oleh perusahaan riset Insider Intelligence pada 2022. Mereka menemukan angka secara global yang begitu mengejutkan.

TikTok secara global meraup iklan sebanyak 11 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 158 triliun. Itu artinya, angka iklan di TikTok sendiri saja sudah melebihi angka total belanja iklan semua media Tanah Air, yang sebesar Rp 135 triliun. Itu belum dihitung dengan para raksasa seperti Google, YouTube hingga Facebook.

Insider Intelligence juga menemukan bahwa Twitter dan Snapchat masing-masing diprediksi menghasilkan 5,58 dan 4,86 miliar dolar AS dari pendapatan iklan mereka pada 2022. Angka yang lebih mengejutkan lagi soal penghasilan deretan platform digital ini dari iklan juga diungkapkan perusahaan periklanan internasional, Densu, yang mengatakan bahwa ada uang sebesar 713 miliar dolar AS pada tahun 2022 yang dipakai untuk belanja iklan. Dari jumlah itu, sebanyak 55,3 persen atau sekitar 394 miliar dolar AS dari total belanja iklan global ini disedot platform digital. Mereka hanya menyisakan separuh kuenya untuk diperebutkan media konvensional seperti televisi, media cetak, dan radio.

Beruntungnya, media-media konvensional yang dulu mati dan banting setir untuk hidup di rimba raya online, sedikit bernapas lega, meski tidak begitu bebas. Media-media yang tetap mengusung praktik jurnalistik, kini hidup dengan dua cara. Selain cara lama, dengan para sales berjibaku menawarkan ruang-ruang iklan pada body website hingga halaman-halaman beritanya, media online bisa terus beroperasi dengan Programmatic ads, salah satunya. Programmatic ads adalah iklan otomatis dari Google yang ditampilkan pada media digital yang mampu mendeteksi audiens yang paling sesuai dengan produk yang diiklankan. Spesifik, tertuju, bahkan bisa langsung melakukan transaksi.

Baca juga : Jadi Wisudawan Universitas Terbuka, Bamsoet Tegaskan Akan Terus Belajar

Dalam dunia digital marketing, programmatic ads adalah iklan terprogram yang memberikan efisiensi tinggi bagi para buyer dan publisher di seluruh dunia. Salah satu ciri penting dari programmatic ads adalah otomasi penjualan iklan antara advertiser dan publisher.

Maka, untuk tetap hidup, media online melakukan banyak terobosan, agar bisa mendapatkan klik. Ya, klik sangat penting, jauh di atas sekadar impresi, karena Programmatic ads akan bisa dimonetisasi berdasarkan jumlah pembaca. Tarif per jumlah klik pun beragam, sesuai dengan produk dan kebijakan tarif masing-masing perusahaan penyedia jasa Programmatic ads.

Mari kita berhitung sedikit: Jika Programmatic ads memberi tarif Rp 10 per klik, maka untuk mendapat uang Rp 1 juta, sebuah artikel harus diklik sebanyak 100.000 kali. Angka yang cukup melelahkan untuk mendapat pembaca sebanyak itu, bukan? Konsekuensinya adalah, media online yang sedikit menghasilkan produk artikel per hari, akan sulit mendapat rupiah.

Maka kini, semua media dari berbagai ruang, termasuk elektronik, radio dan daring, mau tak mau harus bersahabat dengan media sosial. Media-media mainstream kini makin mudah ditemukan di ranah medsos, karena mereka harus berjuang merebut kembali pangsa potensial yang dulu melimpah ruah dan kini hilang.

Agar tetap mendapatkan klik dan bisa hidup dari Programmatic ads yang rata-rata monetisasinya tetap dalam kuasa Google itu, media-media harus membumbui kontennya dengan judul yang menarik klik, foto dan caption yang kuat dan mengajak, hingga mempekerjakan staf media sosial khusus yang mengunggah, mendistribusi, hingga memberi reaksi atas konten mereka di media sosial. Yap, ini cara yang paling bisa dilakukan dari ketidakberdayaan akibat serangan media sosial yang dipayungi platform asing itu, agar media konvensional masih tetap bisa hidup.

Lalu bagaimana dengan media cetak? Sebelum banyak yang mati, jelas sudah banyak cara yang dieksekusi untuk tetap bisa survive, meski akhirnya tutup juga. Meski kini tak lagi banyak media cetak yang beredar, media cetak memegang sebuah kekhasan yang tak ada di internet.

Media cetak tak lagi bisa mengandalkan konten news daily, karena jalur ini sudah disesaki pemain-pemain di digital. Media cetak harus menaruh kekhasannya layaknya sebuah buku yang menyajikan sesuatu secara dalam dan menyeluruh. Konten-konten In-depth interview dan penelusuran kasus dengan mendalam dan melibatkan banyak pihak untuk terlibat dari sudut pandang masing-masing adalah salah satu caranya. Hingga pada saat terbit, media cetak tetap memiliki pembaca yang bersedia menunggu sebuah isu atau kejadian dengan lebih komprehensif. 

Selain kekuatan konten, pola komunitas pembaca juga harus dirawat dengan kuat. Kelompok-kelompok yang masih suka membaca dari kertas masih sangat banyak jumlahnya yang harus dijaga dengan baik.

Baca juga : Jubir Muda PAN: Didukung Peran Milenial, Pembangunan Harus Berkelanjutan

Lalu, membagikan koran atau majalah secara gratis juga bisa menjadi solusi lain. Sesuatu yang gratis bisa menjadi penarik yang kuat. Toh media cetak tak banyak berharap pemasukan besar dari jumlah oplah, bukan? Apalah artinya sebuah koran dijual dengan harga Rp 5 ribu yang tak begitu signifikan menggoyang pendapatan dari iklan?

Jika mau tetap survive, media cetak harus beramfibi. Hidup di dua alam berbeda, dengan penyajian konten khas yang berbeda pula. Berita-berita dan informasi news harian bisa tayang dalam versi online di sebuah website milik mereka, dan berita khas berupa ulasan mendalam mengenai potongan peristiwa itu akan disajikan secara lengkap di versi cetak. Media cetak juga bisa merilis konten online lainnya dan memberdayakan semua sumber dayanya secara khusus para jurnalisnya dengan lebih maksimal lagi.

Selain meliput dan menulis, reportase berupa laporan live saat liputan atau konferensi pers yang tayang realtime di YouTube, Tiktok, Facebook atau Instagram juga menjadi penarik lainnya.

Apalagi, media-media cetak punya rekam jejak yang lebih kredibel untuk berhadapan dengan narasumber. Maka, podcast dengan tema politik, sosial budaya hingga olahraga yang menghadirkan narasumber terpercaya yang selama ini terkoneksi kuat dengan media cetak, bisa dimanfaatkan.
Ini juga bisa menjadi varian konten yang selain bisa menjadi kaki-kaki penyangga yang kuat, juga bisa menghasilkan pendapatan dari adsense dan iklan build in yang potensial dari berbagai brand rekanan.

Artinya, jika kembali bicara bahwa media hidup dari iklan, maka jika ruang kertas media cetak tak begitu banyak lagi dilirik pengiklan, ada banyak ruang lain yang bisa ditawarkan untuk memperoleh penghasilan.

Alternatif konten ini adalah tiang penyangga yang cukup kuat dari segi pendapatan, sedangkan ruang-ruang rubrik pada media cetak akan diisi dengan konten-konten original, mendalam dan khas dari hasil liputan yang serius, tanpa perlu lagi khawatir pada kondisi kantong yang menipis.***

Elpa Hermawan
Dosen Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika, Pemerhati Media

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.