Dark/Light Mode

Yang Terjadi di Suriah Dampak Konflik Politik Lama, Bukan Masalah Agama

Kamis, 19 Desember 2024 23:36 WIB
Alumnus Suriah Najih Arromadloni (Foto: Istimewa)
Alumnus Suriah Najih Arromadloni (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam upaya mempertahankan stabilitas negara Indonesia, penting untuk memahami bahwa banyak narasi yang berkembang seringkali membingkai seruan jihad dalam konteks yang sangat sempit. Konflik yang terjadi di Timur Tengah seringkali dipolitisasi pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan isu-isu agama untuk kepentingan kelompoknya. Seperti yang tengah terjadi di Suriah, banyak narasi jihad dan khilafah di Indonesa untuk menarik masyarakat pergi ke negeri konflik. 

Menyoroti hal ini, alumnus Suriah Najih Arromadloni memberikan penjelasannya. Menurutnya, yang terjadi di Suriah adalah dampak dari konflik yang sudah lama mendera negara tersebut. 

“Kelompok seperti Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah berupaya mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat dengan membingkai perjuangan mereka sebagai jihad. Namun, tindakan mereka lebih berkaitan dengan ambisi politik daripada murni keagamaan,” ujar Najih, di Jakarta, Kamis (19/12/2024).  

Baca juga : Bedah Karma Indonesia: Solusi Holistik Kesehatan Mental Dan Spiritual Indonesia

Najih mengatakan, penyimpangan narasi yang menggunakan istilah keagamaan justru mencederai hubungan yang erat antara negara dan agama. Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU ini menjelaskan, sebenarnya relasi antara agama dan negara itu adalah saling melengkapi. 

“Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali, bahwa agama dan negara itu seperti saudara kembar. Syeikh Hasyim Asy'ari pun pernah mengatakan, agama dan negara itu adalah seperti dua sisi mata uang yang keduanya saling melengkapi. Kita bisa beragama dengan ungkapnya.

Menurut Najih, sejak awal para founding fathers bangsa Indonesia telah mengintegrasikan nilai-nilai agama dan kebijakan negara. Hal ini tercermin ketika menyusun dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang nilai-nilainya sejalan dengan ajaran-ajaran agama yang ada. Intinya, sebagaimana tercermin dalam slogan "Hubbul Wathan Minal Iman," bahwa mencintai Tanah Air itu adalah bagian dari iman.

Baca juga : Menlu AS Kumpul Dengan Negara Arab Di Yordania

Sebagai masyarakat yang pluralistik, lanjutnya, kewaspadaan terhadap narasi-narasi yang membenturkan agama dengan negara atau tradisi sangat diperlukan Indonesia. Pemahaman makna jihad secara komprehensif dan penerapan prinsip-prinsip toleransi serta inklusivitas adalah langkah yang penting dalam melawan radikalisme dan terorisme. "Dengan demikian, masyarakat yang lebih damai dan stabil dapat dibangun," imbuhnya.

Najih pun berharap, masyarakat Indonesia mampu membangun kerukunan antarumat beragama sebagai bentuk pertahanan nasional terhadap potensi perpecahan yang justru menguntungkan pihak tertentu. Jangan sampai konflik di Timur Tengah ikut mencederai rasa toleransi yang telah terbangun sejak lama.

Dia menambahkan, strategi kontra radikalisasi menjadi sangat penting untuk melawan radikalisme. Program-program yang bertujuan menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan toleransi telah dikembangkan pemerintah Indonesia melalui berbagai instansi dan lembaga terkait.

Baca juga : Kia Ciptakan Sejarah! Sulap Sampah Plastik Laut Jadi Aksesori Mobil

"Dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat sipil, diharapkan dapat menciptakan kesadaran pada masyarakat Indonesia akan bahaya paham radikal dan mendorong dialog antaragama,” pungkasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.