Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Anak-anak Indonesia Tunggu Kurikulum Adatif pada PJJ Fase Dua

Minggu, 26 Juli 2020 23:21 WIB
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti (Foto: Istimewa)
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Oleh: Retno Listyarti

Tahun ajaran baru 2020/2021 sudah berjalan selama dua minggu. Namun, problem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase kedua masih sama dan sebangun dengan pelaksanaan PJJ di fase pertama. Sekolah masih menyusun daftar mata pelajaran seperti sebelum pandemi. Anak kelas 1 SD masih dijadwalkan belajar dari jam 7.30 sampai 12 WIB, para siswa masih wajib kirim foto dan video, kewajiban berseragam selama PJJ pun tetap diberlakukan banyak sekolah. 

Penjadwalan jam belajar yang lama dan berbagai tugas sekolah yang berat masih dirasakan para siswa, hal ini terjadi karena kurikulum 2013 masih diberlakukan tanpa ada penyenderhanaan dan jauh dari bersifat adatif. Belum ada pengurangan Kompetensi Dasar (KD) dan materi esensial, sehingga wajar kalau beratnya PJJ fase satu kembali terulang di fase kedua ini. Beban guru, siswa, dan orang tua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi. 

Krisis Pendidikan 
Pandemi Covid-19 menimbulkan krisis ekonomi, kesehatan, dan bahkan kirisis pendidikan. Pendidikan sangat krusial. Karena melalui pendidikan, bangsa ini dapat membentuk generasi yang berkualitas. Pandemi memicu kriris multidimensi yang mengubah kehidupan anak-anak pada masa pandemi. 

Para orang tua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi, dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah. Data survei PJJ  fase satu yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020  dan diikuti 1.700 siswa, menunjukkan 76,7 persen responden siswa  tidak senang belajar dari rumah. 

Hasil survei yang dilakukan oleh saya secara pribadi pada Juni 2020 terkait pembukaan sekolah menunjukkan hasil yang cukup menarik. Sebanyak 66 persen orang tua dari 196.546 responden menolak sekolah dibuka pada 13 Julli 2020. Namun, penolakan orang tua berbanding terbalik dengan sikap anak-anak yang justru setuju sekolah segera dibuka sebanyak 63,7 persen dari 9.643 responden. Di sisi lain, sikap pendidik yang berasal dari jumlah sampel 18.111 responden guru sama dengan para siswanya, yaitu 54 persen setuju sekolah dibuka. Para guru dan siswa mendukung sekolah dengan tatap muka karena PJJ di fase pertama dinilai tidak efektif dan sarat kendala, baik bagi siswa maupun bagi guru itu sendiri. 

Baca juga : Tiba di Indonesia, Shin Tae-Yong Siap Melatih Timnas

Pada akhirnya, pemerintah melalui SKB 4 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri) memutuskan menunda pembukaan sekolah. Pembukaan sekolah atau tatap muka hanya diijinkan pada daerah yang masuk zona hijau. Sedangkan daerah yang masih berstatus zona kuning, oranye, dan merah dilarang buka sekolah. Dengan demikian, belajar dari rumah diperpanjang oleh pemerintah pada tahun ajaran baru 2020/2021 yang dimulai 13 Juli 2020, kecuali di zona hijau. PJJ akhirnya menjadi alternatif yang paling diterima demi kesehatan dan keselamatan anak-anak. 

Memberatkan Anak
PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orang tua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika survei menunjukkan, PJJ fase pertama berjalan tidak efektif. Sebanyak 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah. Rinciannya, 37,1 persen siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stress, 42 persen siswa kesulitan daring karena orang tua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6 persen  siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop. 

Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring. Karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum. Orang tua juga harus mengirim tugas-tugas anaknya kepada gurunya dalam bentuk foto dan video. 

Terbayang beratnya jika orang tua memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, termasuk beratnya kuota internet yang harus ditanggung. Apalagi jika ibu juga harus bekerja, karena mayoritas pendamping anak-anak usia TK dan SD saat PJJ adalah ibu. Beban orang tua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemendikbud segera memberlakukan kurikulum adatif yang sudah disederhanakan. 

Dampak PJJ 
Masa pandemi Covid-19, ketika anak-anak terisolasi di rumah dan belajar dari rumah selama berbulan-bulan, memiliki risiko berdampak bagi mental anak-anak. Seperti anak mengalami kejenuhan, penurunan minat belajar, terpapar konten negatif akibat aktivitas penggunaan internet yang sangat tinggi, dan naiknya risiko kesehatan anak akibat aktivitas yang minim. Secara keseluruhan, ada lima kerentanan pada anak.

Pertama, anak rentan mengalami kecanduan gadget, internet, serta eksploitasi seksual. Selama PJJ, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar gadget untuk bisa mengerjakan tugas dan mengakses internet. Teknologi informasi memang seperti pisau bermata dua, di satu sisi mudahkan komunikasi dan menghilangkan jarak, namun di satu sisi kehadiran teknologi komunikasi memiliki ruang-ruang gelap, yaitu predator seksual, industri hoaks, dan industri pornografi menyasar anak-anak. 

Baca juga : Partai Gelora Indonesia Dukung PT 4 Persen

Kedua, anak rentan mengalami gangguan kesehatan. Penggunaan peralatan daring seperti handphone, laptop, maupun komputer selama berjam-jam setiap harinya akan memicu kelelahan pada fisik dan mata anak. Untuk itu, anak harus diberikan porsi istirahat yang tepat saat belajar daring. Misalnya berisitirahat minimal 15 menit setelah mengejakan tugas di depan gadget selama 2 jam. Selain itu, anak harus diingatkan untuk mengalihkan pandangan dari gadgetnya setiap 20 menit. 

Posisi duduk anak juga harus selalu tegak, dapat dibantu dengan menggunakan sandaran punggung. Hindari mengoperasikan laptop sambil berbaring. Posisi duduk yang tidak tepat bisa memicu anak mudah kelelahan dan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan nyeri punggung bawah atau sakit pada pergelangan tangan. 

Ketiga, anak rentan putus sekolah. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2019 saja ada 157.166 anak putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. PJJ secara daring berpotensi membuat anak-anak miskin yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring terancam putus sekolah. 

Keempat, anak rentan mengalami eksploitasi. Ketika anak-anak memilih berhenti sekolah akibat tidak memiliki akses untuk pembelajaran daring, akhirnya banyak dari mereka diminta orang tuanya bekerja atau menikah. Sehingga angka pekerja anak dan perkawinan anak berpotensi meningkat. Menurut survei sosial ekonomi nasional tahun 2018, kondisi ekonomi menjadi alasan utama 50,1 persen anak tak melanjutkan pendidikan. Sebagian besar dari mereka harus bekerja guna membantu orang tua. 

Kelima, anak rentan mengalami berbagai kekerasan. Anak yang orang tuanya kehilangan pekerjaan akibat krisis berisiko mengalami kekerasan. Sebab, orang tuanya mengalami kesulitan ekonomi, kecemasan, dan emosi yang tidak stabil, sehingga anak kerap menjadi sasaran pelampiasan. Para orang tua yang sedang mengalami tekanan psikologis akibat ekonomi keluarga berpotensi kuat tidak sabar dalam mendampingi anak-anaknya belajar dari rumah, sehingga anak-anak rentan mengalami kekerasan ketika PJJ. 

Survei KPAI yang dilaksanakan pada 8-14 Juni 2020 dengan sampel responden anak sebanyak 25.164 orang menunjukkan bahwa terjadi kekerasan psikis dan fisik selama pandemi terhadap anak dengan pelaku keluarga terdekat, seperti ibu, ayah, kakak/adik, saudara lainnya, kakek/nenek, asisten rumah tangga. Meskipun kekerasannya tidak spesifik terjadi hanya saat mendampingi anak PJJ, 

Baca juga : Menpora Ingin Indonesia Jadi Tujuan Pariwisata Olahraga

Bentuk kekerasan fisik terhadap anak selama pandemi di antaranya dicubit (23 persen), dipukul (9 persen), dijewer (9 persen), dijambak (6 persen), ditarik (5 persen), ditendang (4 persen), dikurung (4 persen), ditampar (3 persen), dan bahkan ada yang diinjak (2 persen). Sedangkan bentuk kekerasan psikis terhadap anak selama pandemi di antaranya, dimarahi (56 persen), dibandingkan dengan anak lain (34 persen), dibentak (23 persen), dipelototi (13 persen), dihina (5 persen), dan diancam (4 persen). 

Rekomendasi
Untuk mengatasi lima kerentanan, maka proses pembelajaran jarak jauh di fase pertama seharusnya  sudah dievaluasi dan diperbaiki pada PJJ fase kedua. Pertama, KPAI mendorong Kemdikbud segera menyederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan, TK sampai SMA/SMK. Kedua, KPAI mendorong pemerintah pusat melalui Kemninfo segera membuat kebijakan pengratisan internet selama PJJ pada 6 bulan ke depan. 

Ketiga, KPAI mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring. Sekolah menyiapkan penjadwalkan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring. Keempat, KPAI mendorong adanya kebijakan pemerintah yang fokus pada keluarga miskin akan mencegah krisis akibat pandemi menjadi krisis kemanusiaan yang lebih besar kepada anak. Pemerintah harus memastikan anak-anak mendapatkan akases pendidikan, kesehatan dan perlindungan.  

Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.