BREAKING NEWS
 

Petani Tembakau Jabar Setuju Rokok Naik, Tapi Jangan Drastis

Reporter : HENDRAWAN KOSIM WIJAYA
Editor : UJANG SUNDA
Senin, 4 November 2019 15:51 WIB
Para petani tembakau Jawa Barat yang menggelar aksi di Jakarta, Senin (4/11). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ratusan pertani tembakau asal Cianjur, Ciamis, Banjar, Sumedang, Majalengka, Garut, Pangandaran, Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia  (APTI) Jawa Barat, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementrian Keuangan dan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/11). Mereka mengajukan dua tuntutan. Pertama, pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/2019 tentang Kenaikan Cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) Rokok. Kedua, Revisi PMK No. 222/2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan  Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) .

“Kami menolak PMK No. 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut,” papar Ketua APTI Jawa Barat, Suryana, di sela aksi.

Baca juga : Mari Elka: 2020, Ekonomi Asia Hadapi Tantangan Berat

Menurut Suryana, kenaikan cukai rokok dan HJE terlalu besar. Kenakan tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada berkurangnya jumlah produksi. Selain itu, tingginya harga jual menyebabkan semakin banyaknya rokok illegal yang beredar di pasaran. Hal ini bukan hanya merugikan petani dan buruh industri rokok dan tembakau, tapi juga pemerintah. Karena akan kehilangan pendapatan dari cukai.

Adsense

“Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini hingga mencapai 23 persen dan 35 persen. Harusnya naiknya bertahap. Misalnya, 10 persen. Periode berikutnya 7 persen. Sehingga menjadi 17 persen. Demikian seterusnya. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastis hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20 persen,” tambah Suryana.

Baca juga : Juventus Vs Bologna, Jangan Sia-siakan, Blaise!

Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran. Yakni 35 persen. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10 persen. Bukan seperti saat ini. Di atas 20 persen.

“Kenaikan HJE itu seharusnya  seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap. Bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu,” tegas Suryana.

Baca juga : Pertamina Cegah Penyebaran Narkoba dan HIV/AIDS di Kalangan Pelajar

Suryana menambahkan, tuntutan kedua adalah PMK No. 222/2017. Dalam peraturan itu disebutkan penggunaan DBHCHT pengalokasiannya minimal 50 persen untuk kesehatan. “Kami meminta peraturan itu direvisi. Harusnya bukan minimal 50 persen untuk kesehatan melainkan maksimal 50 persen untuk kesehatan. Jika minimal 50 persen untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan. Padahal masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT,” ucapnya. [KW]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense