Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Sejumlah Hambatan Belenggu Industri Petrokimia

Kamis, 16 Juni 2022 14:50 WIB
Ilustrasi industri petrokimia. (Foto: Ist)
Ilustrasi industri petrokimia. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengatakan masih banyak hambatan-hambatan yang memblenggu industri petrokimia nasional.

Ketua umum Inaplas, Suhat Miyarso mengatakan, hambatan industri petrokimia ada tiga, seperti bidang administrasi atau peraturan, fiskal dan serbuan produk impor. Untuk bidang administrasi, misalnya perizinan lahan. Belum lagi ketentuan lahan yang harus bayar PPN tidak bisa dikredit, jelas ini membuat sulit pengusaha atau investor.

“Di Undang-Undang Cipta Kerja memang sudah tertera, namun hingga saat ini belum terlaksana,” ujarnya di Jakarta, Kamis (16/6).   

Selanjutnya adalah masalah Fiskal. Seperti kredit PPN yang waktunya singkat sekali. Dan yang terakhir serbuan produk impor jika tidak dibatasi akan merusak produk petrokimia dalam negeri.

Baca juga : Sinergi Percepatan Pembangunan Infrastruktur

Menurut dia, rencana penurunan bea masuk sampai 0 persen untuk produk petrokimia dari Uni Emirat Arab (UEA) sangat memberatkan industri petrokimia dan membuat investor ketar ketir. Karena akan banjir produk petrokimia dari UEA.

“Industri petrokimia di Timur Tengah menggunakan bahan baku berupa ethane gas yang pabriknya terintegrasi dengan kilang minyak sehingga notabene harga petrokimianya lebih murah,” ujarnya.

Sebab, kata dia, ethane gas yang sudah diolah menjadi monomer harganya 300 dolar AS per ton sedangkan harga nafta sudah di kisaran 800-900 dolar AS per ton. Sedangkan saat ini, Indonesia masih 50 persen mengimpor polymer dan bahan baku plastik sehingga kalau Indonesia digempur importasi, industri lokal akan babak belur. 

“Saat ini saja, utilisasi pabrik petrokimia sudah turun di bawah 90 persen dari yang sebelumnya beroperasi hampir pada kapasitas penuh,” jelas Suhat.

Baca juga : Ceramah Di Amsterdam, Mahfud Ingatkan Indonesia Produk Ijtihad Ulama

Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono. Menurutnya, rencana penurunan bea masuk untuk bahan baku plastik akan sangat mengancam industri petrokimia dalam negeri yang saat ini sedang gencar membangun dan berbagai macam investasi. “Pasalnya dengan rencana tersebut akan menghilangkan kepercayaan investor, karena bahan baku dari UEA akan banjir di dalam negeri,” ujar dia.

Fajar mengatakan semestinya UEA tidak berencana mengajukan opsi penurunan bea masuk, karena hal tersebut tidaklah fair dalam perdagangan bilateral. Pemerintah harus bisa mendorong UEA untuk membangun pabrik petrokimianya di sini, agar kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Apalagi kita sedang banyak membangun pabrik petrokimia di dalam negeri.

Wakil Ketua Komite Tetap Industri Kimia Hulu Kadin, Edi Rivai mengatakan, rencana tersebut sangat memberatkan industri petrokimia bagan baku plastik yang sudah ada kita bangun selama ini dan juga sedang kita lakukan ekspansi besar. Kalau disetujui pemerintah maka akan menjadi ancaman industri petrokimia dalam negeri yang sedang giat membangun dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan Produk Polyethylene LLDPE

Menurut Edi, masalah liberalisasi FTA IUAE perlu dukungan dari Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengawal produk polymer HS 39 khususnya PP dan PE dikeluarkan dari permintaan UAE. Karena akan sangat membahayakan produsen lokal dan mengancam investasi di Indonesia. Akan gagal atau tidak berhasil menerapkan kandungan lokal (TKDN ) yang terus di dorong Presiden RI selama ini.

Baca juga : APJII: Pertumbuhan Pengguna Internet Meningkat Pasca Pandemi

“Jika keran HS39 dibuka maka terdapat cost sangat signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia pada bahan baku PE dan PP sebesar Rp 65,15 T, dari pertumbuhan permintaan yang tidak diikuti oleh pertumbuhan produksi domestik yang mati karena investasi yang tidak terealisasi,” tukas Edi.

Ekonom CORE, Hendri Saparini mengatakan ada tantangan besar bagi industri petrokimia pascapandemi Covid-19, yaitu bahan baku dan produk turunannya. Industri petrokimkia dituntut menemukan inovasi bahan baku dan pengolahan produk turunan dengan harga bersaing dibanding produk luar negeri sehingga lebih kompetitif dan meningkatkan market share.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan optimis industri petrokimia di Indonesia bakal menjadi nomor satu di ASEAN.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.