Dark/Light Mode

Industri Sawit Masih Berpotensi Besar Serap Tenaga Kerja

Jumat, 4 November 2022 18:02 WIB
Foto: Ilustrasi industri sawit/Ist
Foto: Ilustrasi industri sawit/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Sawit menyumbang serapan tenaga kerja lebih besar dibandingkan komoditas lain. Potensi penyerapan tenaga kerja oleh industri sawit masih terbuka lebar, terutama dari sektor hilir. 

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menjelaskan, penyerapan tenaga kerja terbagi luas dari hulu hingga ke hilir.

Di sisi hulu, sebesar 59 persen sektor ini dikelola perusahaan, dan sisanya 41 persen dikelola masyarakat. Meski kini sektor ekonomi dibayangi inflasi dan krisis, potensi penyerapan tenaga kerja di industri ini masih cukup besar.

“Di sektor hulu, sawit belum bisa dilakukan full mekanisasi, sehingga masih banyak nembutuhkan tenaga kerja,” ujarnya di Jakarta, Jumat (4/11).

Dia memperkirakan, total penyerapan tenaga kerja mencapai sekitar 5 juta orang yang tersebar di berbagai sentra sawit. Adapun total luas perkebunan mencapai 16,3 juta hektare.

Eddy mengakui, untuk di sektor hulu serapan tenaga kerja tidak akan terus meningkat selama tidak ada pengembangan kebun. Peningkatan tenaga kerja berpeluang terjadi di sektor hilir.

"Tapi, apabila ada pengembangan di sektor hilir, kemungkinan akan meningkat di hilirnya," imbuhnya.

Baca juga : Erick: Agama Berperan Besar Dalam Perdamaian & Ekonomi Kerakyatan

Meski tak punya peluang besar untuk meningkat, Eddy menilai tenaga kerja di sektor hulu punya peran jauh lebih krusial dalam keberlangsungan industri kelapa sawit. Apabila ada hambatan di hulu, maka seluruh proses juga akan terhambat.

Terlepas dari sektor hulu dan hilir, tenaga kerja di industri kelapa sawit terbagi atas tenaga kerja langsung, yakni pekerja di pabrik kelapa sawit, serta tenaga kerja pendukung, mulai dari angkutan baik darat ataupun laut.

"Ke depan, tenaga kerja yang meningkat hanya di sektor hilir, sebab di hulu ada moratorium praktis tidak ada perluasan kebun," tandas Eddy.

Sebelumnya, Bappenas pada 2018 pernah menyebutkan, industri kelapa sawit ini mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.

Ditaksir Meningkat

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menilai, penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia masih memiliki potensi untuk meningkat.

"Angkanya besar karena mayoritas di Sumatera Utara, Riau, kemudian di beberapa tempat di Kalimantan, kebun kelapa sawit cukup besar," ujar Tadjudin, melalui sambungan telepon.

Baca juga : Pagi Ini, Rupiah Masih Lesu Tak Bertenaga

Bahkan, menurut Tadjudin, jumlah 16 juta masih dirasa belum maksimal. Dia menaksir penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia bisa mencapai 20 hingga 25 juta tenaga kerja.  Di beberapa daerah, masih banyak yang sulit mencari tenaga kerja sawit.

Senada dengan Tadjudin, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda memproyeksikan ke depan permintaan tenaga kerja sawit masih bisa meningkat pesat.

Menurutnya, data yang resmi menyebutkan ada sekitar 2,7 juta petani dan 4,4 juta pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Data tersebut tahun 2019/2020.

“Tentu jumlahnya bisa jadi bertambah, mengingat biasanya permintaan tenaga kerja akan meningkat pesat ketika harga kelapa sawit naik," ujar Huda, Jumat (4/11).

Salah satu contoh perusahaan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah Wilmar. Besarnya jumlah tenaga kerja karena perusahaan tersebut bergerak dari hulu dan hilir.

Untuk Perkebunan saja, Wilmar tercatat telah menyerap tenaga kerja lebih dari 11 ribu karyawan. Sedangkan karyawan untuk hilir mencapai lebih dari 31 ribu orang. Jika ditambah dengan dampak berganda, diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.

Dengan harga yang sekarang relatif tinggi, Huda optimistis masih ada ceruk untuk pekerja kelapa sawit ini. Terlebih, karakteristik pekerja kelapa sawit bukanlah tenaga kerja terdidik, sehingga tidak terlalu sulit mencari tenaga kerja yang tersedia.

Baca juga : Pendidikan Vokasi Kudu Terhubung Sistem Informasi Pasar Tenaga Kerja

Tadjudin menjelaskan, keterkaitan harga Tandan Buah Segar (TBS) dengan penyerapan tenaga kerja sawit. Menurutnya, jika harga TBS sedang bagus, maka penyerapan tenaga kerja sawit tinggi karena pengusaha atau pekebun butuh memanen kelapa sawit dengan cepat. Panen harus dilakukan dalam dua minggu sekali.

“Pada waktu harga TBS Rp 1.000 per kg, orang tidak mau panen kelapa sawit, berarti penyerapan tenaga kerjanya rendah,” katanya.

Menurutnya, harga sawit yang tidak menentu di dunia internasional turun naik turun naik, itu menyebabkan penyerapan tenaga kerjanya juga turun naik turun naik, tidak berkelanjutan. “Jadi tergantung harga TBS," imbuh Tadjudin.

Sementara pada saat harga TBS Rp 3.500 per kg, misalnya, penyerapan tenaga kerjanya akan besar dan justru bisa kekurangan tenaga kerja terutama untuk musim panen.

Bahkan, anak-anak muda yang ada di pedesaan sekitar kelapa sawit itu tidak mau cari kerja di luar karena upahnya tinggi. Bekerja 2-3 jam mereka bisa mendapat Rp 200-300 ribu.

“Kebetulan saya pernah melakukan penelitian pada tahun 2015 di pabrik-pabrik sekitar Sumatera Utara. Mereka mengeluh banyak tenaga kerja minta berhenti dan pulang ke daerah masing-masing, karena upah di perkebunan kelapa sawit tinggi," pungkas Tadjudin.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.