Dark/Light Mode

Pengamat: Bahaya, Kalau Bansos Dihilangkan, Nilainya Justru Harus Ditambah

Kamis, 21 Desember 2023 17:47 WIB
Ilustrasi warga menerima bansos (Foto: dok. Kemensos)
Ilustrasi warga menerima bansos (Foto: dok. Kemensos)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto menegaskan, bantuan sosial (bansos) merupakan kebijakan mutlak yang harus disediakan negara kepada rakyatnya.

Bahkan, Teguh menyarankan pemerintah untuk menambah alokasi anggaran bansos. Dengan catatan, ada strategi distribusi dan pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur.

“Bansos tetap diperlukan, karena itu merupakan bagian dari upaya pemerintah, untuk melindungi masyarakat kelompok bawah. Kalau itu dihilangkan, malah akan berbahaya, karena menyangkut nasib banyak orang," jelas Teguh, Kamis (21/12/2023).

"Jadi, perdebatannya bukan pada dibutuhkan atau tidak. Tapi, perlu ada perbaikan dari sisi penerimaan. Strateginya, juga harus lebih clear,” imbuhnya.

Tak Identik Negara Berkembang

Teguh memaparkan, bansos bukanlah kebijakan yang identik dengan negara berkembang. Banyak negara maju, menjadikan bansos sebagai strategi perlindungan sosial.  

"Di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, bansos pun masih ada. Malah lebih komprehensif. Semua negara di dunia pasti punya bansos," tuturnya.

Baca juga : Prabowo: Petani Indonesia Adalah Pahlawan Pangan, Hidupnya Harus Makmur

Teguh, yang menggeluti Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, mengusulkan dua strategi supaya pemberian bansos di Indonesia menjadi lebih efektif.

Pertama, pemerintah harus memiliki strategi graduasi atau memikirkan bagaimana para penerima bansos bisa naik kelas.

Terkait hal ini, Teguh menyoroti dua jenis bantuan yang telah disediakan pemerintah. Yaitu bantuan yang sifatnya untuk bertahan hidup seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau pemberian sembako, serta bantuan yang sifatnya produktif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Dari sisi penerima, perlu dipertegas supaya orang yang menerima bansos, bisa naik kelas. Mereka harus dibantu, supaya tidak menerima bansos lagi. Itu yang harus clear. Untuk bantuan produktif, seperti KIP untuk masa depan atau KIS, itu nilainya masih kurang,” beber perang gelar S3 dari Nagoya University, Jepang.

Strategi kedua adalah adaptive social protection atau pemberian bantuan berbasis kebutuhan.

Strategi ini, kata Teguh, sudah diterapkan di banyak negara maju. Dalam konteks ini, masyarakat menerima bansos, setelah mendaftarkan diri.

Baca juga : Ribuan Ton Buah Sawit Hilang, Teras Narang: Penadahnya Harus Ditangkap

Teguh berharap Indonesia bisa mengadopsi strategi tersebut. Alasannya, pemberian bansos saat ini masih menerapkan pendekatan top down. Layak atau tidaknya seseorang menerima bantuan, ditentukan oleh negara.

“Misalnya, ada orang yang tiba-tiba kena PHK dan penghasilannya langsung drop. Mereka kan perlu bantuan. Dengan sistem sekarang, korban PHK tidak bisa menyatakan butuh bansos. Tapi dengan cara on demand application, mereka yang butuh bansos bisa mendaftarkan diri,” terang ekonom yang menamatkan studi masternya di Hitotsubashi University. 

Pemutakhiran Data

Teguh menuturkan, saat ini penyaluran bansos menghadapi isu pemutakhiran data yang tidak cepat. Bisa memakan waktu 3-4 bulan, baru dapat bansos.

"Memang perlu dibuat sistem yang apabila masyarakat butuh bantuan, mereka tinggal aplikasi, dan bisa segera dibantu. Itu kalau misalnya kita mau meniru pemberian bansos di negara maju,” terang Teguh.

Terlepas dari kekurangannya, ekonom kelahiran Pati, Jawa Tengah 15 Desember 1980 itu mengapresiasi bansos dalam bentuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diluncurkan sejak 2017.

BPNT menurutnya, telah menjawab persoalan klasik, apakah bansos lebih baik diberikan dalam bentuk uang atau sembako.

Baca juga : Genjot Layanan Perbankan, BNI Komit Dukung Industri Hulu Migas dan UMKM

Secara teori, bansos idealnya memang uang tunai. Tapi, ada kekhawatiran kalau penggunaannya tidak tepat sasaran. Dibelikan rokok, misalnya.

Sementara kalau diberikan beras, ada kekhawatiran jumlahnya berkurang, saat sampai ke penerima.

Belum lagi, persoalan distribusi di Indonesia yang mahal dan kualitasnya menurun ketika sampai di daerah.

"Jadi, BPNT itu inovasi yang sangat baik. Uang ditransfer ke dalam kartu, dan kartunya bisa dibelanjakan untuk barang tertentu. Itu juga bisa menghidupi warung-warung kelontong. Untuk Indonesia, menurut saya, BPNT sudah ideal," tandas Teguh.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.