Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Masa Depan Generasi Budaya Massa

Jumat, 2 Desember 2022 22:10 WIB
[Ilustrasi: vectorstock.com]
[Ilustrasi: vectorstock.com]

 Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

Budaya massa atau budaya populer saat ini demikian kentara dalam keseharian kita, terutama masyarakat kota. Merujuk kepada pandangannya Jean Baudrillard (1929-2007), budaya dalam kebudayaan populer atau budaya masa merupakan bentuk aktivitas konsumsi mengalahkan aktivitas produksi, di mana nilai tanda dan nilai simbol mengalahkan nilai guna dan nilai tukar.

Selain itu, penampilan diri menjadi tujuan tertinggi karena tuntutan mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan. Kemudian di sisi lain, budaya massa juga memuja bentuk dan penampakan ketimbang kedalaman, selalu merayakan kebebasan permainan dan kenikmatan ketimbang kekhusyukan, dengan membasiskan pada upaya mengejar keuntungan ketimbang kemanfaatan. 

Jika kita melihatnya hari ini, ekspresi paling demonstratif dari budaya popular ini ada pada kalangan muda. Entitas ini bisa demikian intens melakukannya karena kemudahan mengakses berbagai informasi yang tersedia di berbagai platform media. Media online, media sosial, dan berbagai informasi berbasis handphone begitu mudah memberikan informasi. Derasnya informasi tidak jarang sulit dibedakan antara berita benar atau hoax (informasi palsu). 

Dengan keberlimpahan informasi ini maka masyarakat hari ini kehilangan refleksi atas beragam peristiwa maupun beragam hal yang melekat kepada diri mereka. Hal ini terjadi karena posisi masyarakat lebih banyak sebagai masyarakat penonton.  Di mana segala hal ditimbang hanya melewati pandangan, bukan perenungan.  

Adapun generasi paling intens mengekspresikan, mengokohkan, dan juga mengibarkan budaya massa adalah: Pertama, generasi ke generasi kegencet atau generasi sandwich. Alasannya adalah karena generasi ini merupakan entitas yang tidak atau kurang memiliki akses pada budaya tinggi (high culture) atau produk-produk budaya yang berkasta tinggi (high class). Selain karena budaya itu sendiri memerlukan aksesibilitas yang besar dan kuat bahkan tidak jarang harus ditunjang oleh modal yang cukup besar. 

Sementara generasi kegencet sendiri adalah generasi yang memiliki sejumlah keterbatasan, mulai dari: waktu, modal kapital, juga pemahaman atas produk budaya itu sendiri. Sebab, seperti diketahui, bahwa budaya tinggi bisa dipahami dan dinikmati oleh kalangan terbatas. 

Baca juga : Urusan Beras Bikin Waswas

Kedua, generasi gawai. Generasi ini merupakan entitas yang kesehariannya melekat pada alat komunikasi seperti handphone atau tablet. Bahkan banyak dari mereka yang hidupnya tidak bisa lepas dari benda tersebut. Akibatnya, mereka mendapatkan keberlimpahan informasi yang luar biasa, sehingga karena alat untuk mendalaminya tidak dimiliki dengan baik dan cukup, mereka mereka pun lebih gampang terkesima dengan budaya-budaya yang serba cepat tersebut. 

Apa yang dikatakan oleh Baudrillard sebagai hilang kedalaman, benar-benar terjadi pada generasi gawai ini. Mereka ini dengan sangat mudah pindah dari satu fitur ke fitur yang lain, maupun dari satu video ke video yang lain. Apalagi saat ini, pemilik platform kemudian menampilkan produk lain yang disebut sebagai short movie atau short video untuk mengakomodasi “kebutuhan” ini. 

Ketiga adalah generasi rebahan. Entitas ini adalah generasi yang karena satu dan lain hal hadir dalam suatu ekosistem sosial budaya yang memang terbatas. Adanya pandemi, beberapa tahun lalu, yang mengharuskan mereka lebih banyak di rumah, tetapi di sisi lain juga memiliki akses yang cukup kuat kepada internet dan beragam informasi yang tersedia di sana. 

Mereka kemudian dengan mudah dan tertuntut untuk cepat belajar tentang sesuatu, tetapi mereka lupa atau memang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pendalaman pada persoalan-persoalan di lingkungan tempat mereka tinggal dan tempat mereka hidup. Hasil budaya yang ditampilkan pun adalah budaya yang serba nanggung, tanggung dan tentu saja dangkal. 

Jika dianalisis lebih jauh, terdapat dampak budaya massa pada generasi muda kontemporer. Pertama, dampak budaya massa pada generasi muda akan menghasilkan generasi serba instan. Generasi ini sejak awal sudah terpapar informasi yang instan, produk budaya yang tontonan yang instan, bahan pemahaman atas nilai-nilai yang juga instan. 

Mereka akan menjadi generasi yang gampang berkompromi, sekaligus mudah berkomunikasi, tetapi dengan sangat mudah mereka pun bisa dengan gampang keluar dari lingkungan itu hanya karena dia bisa menemukan realitas baru, atau sudah tidak menyukai yang ada saat ini. 

Kedua, dampaknya bisa, jika menggunakan bahasa anak sekarang, “mudah kena mental”.  Anak muda sekarang yang terdampak dan terpapar dengan budaya massa itu sangat mudah kena mental. Mereka gampang mendapatkan informasi dan mampu memamah dan menganalisisnya, tetapi kemampuan itu tidak dibarengi dengan kekokohan mental. 

Baca juga : Ganjar-MUI Kolaborasi Wujudkan Generasi Muda Anti Narkoba

Sehingga jika ada sesuatu yang shocking atau memberati mereka, mereka akan dengan sangat mudah terkena dan bahkan bisa mengalami stres yang berlebihan. Inilah yang sering disebut mereka sebagai “kena mental”. 

Ketiga, dampak budaya massa pada generasi muda adalah “imajinasi tak berkaki”. Maksudnya, mereka adalah generasi yang memiliki berbagai impian dan imajinasi yang demikian tinggi dan hebat. Namun karena mereka lupa bahwa untuk mewujudkan imajinasi dan impian itu butuh kaki-kaki yang kokoh dan kuat, sementara mereka tidak terlatih untuk memilikinya, maka akhirnya tinggal imajinasi semata. 

Sehingga mereka kadang-kadang hidup dalam dua dunia: dunia realitas dan dunia khayal. Pada ruang yang maya mereka mengeksplorasi diri menggunakan gawai atau gadget yang mereka miliki. Mereka melepaskan kelelahan di dunia nyata dengan membuat produk-produk visual yang berbeda. Misalnya: di dunia nyata adalah penjaga toko biasa, sedangkan di dunia maya mereka menjadi seperti sultan, dan sebagainya.

Lalu bagaimana tantangan generasi muda ini di tengah hamburan dan serbuan budaya massa ini di masa mendatang? 

Tantangan yang pertama adalah bahwa semua pihak harus menyadari dampak hadirnya budaya massa yang kemudian berjalan dan berkelindan dengan adanya gadget yang dimiliki serta aksesibilitas terhadap informasi dan internet yang demikian mudah, maka perlu ada desain kehidupan baru berbasis gawai atau gadget ini agar semuanya tidak terlambat. 

Desain baru itulah yang kemudian mengarahkan mereka meski bisa saja hidup dalam konteks yang serba instan, tetapi tetap ditawarkan ruang-ruang yang bisa melakukan refleksivitas kehidupan sosial mereka. Sehingga mereka bisa melakukan pendalaman pada berbagai ekspresi, informasi dan isu yang sampai ke mereka. 

Tantangan kedua adalah sistem pendidikan. Di mana pendidikan pun harus berinovasi sedemikian rupa mencari cara-cara yang baru yang bisa mengembalikan hakikat kebudayaan dari yang serba instan, kembali kepada kedalaman dan nilai-nilai yang hakiki dan berkelanjutan. 

Baca juga : DJ Lucyana, Dinikahi Mudjie Massaid

Karena melalui pendidikan ini mereka bisa mengalami tahapan-tahapan proses belajar dengan genuine, akurat dan murni. Jika hal ini bisa dilakukan, maka mudah-mudahan ke depan kita atau sebagian generasi kita bisa kembali kepada rules dari kebudayaan sendiri, yakni: membangun,  mengembangkan dan memperkuat peradaban. [*]

 

 

 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.