Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
RM.id Rakyat Merdeka - Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) meminta seluruh penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) melakukan antisipasi dini terhadap potensi kekerasan, akibat gelaran pesta demokrasi 2024. Kontestasi demokrasi tidak boleh melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di tengah masyarakat.
Wakil Ketua Komnas HAM, Pramono Ubaid Tantowi menyatakan, pihaknya mengamati dinamika sosial pelaksanaan Pemilu, yang kerap menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ungkap dia, pihaknya menemukan adanya pergeseran bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat, pada setiap event pemilihan politik atau gelaran pesta demokrasi di Tanah Air.
Baca juga : Bermedia Sosial Kudu Pake Etika Dan Kesantunan
Dijelaskannya, pada pelaksanaan Pemilu Tahun 1997 dan 1999, bentuk kekerasan yang terjadi adalah kekerasan fisik, karena kontestasi tersebut melibatkan massa dalam jumlah banyak. Bahkan, lanjut dia, gelaran kontestasi saat itu mengakibatkan sejumlah korban jiwa.
“Pada Pemilu 2024 nanti, bentuk konflik yang berpotensi terjadi adalah kekerasan dalam bentuk verbal. Isu yang berpotensi dimainkan dalam kekerasan verbal, antara lain berkaitan dengan SARA dan politisasi agama. Jadi, soal kekerasan secara masif mungkin sudah tidak ada lagi,” Pramono melalui keterangan tertulisnya, kemarin.
Anggota Komisi Pemilihan Unum (KPU) RI periode 2017-2022 ini menambahkan, sarana atau media penyebaran konflik di Pemilu mendatang, kemungkinan besar terjadi melalui platform media sosial (medsos). Pasalnya, literasi masyarakat terhadap platform-platform mesdos berkembang pesat dan sulit dibendung.
Baca juga : Agresif Eksplorasi Migas, Pertamina Hulu Energi Catat Capaian Terbaik
Menurut dia, pergeseran bentuk kekerasan yang terjadi pada pesta demokrasi mendatang, lebih menyakitkan bagi yang pihak-pihak yang berkonflik. Kekerasan verbal melahirkan ‘luka dalam’ dan membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama, sehingga para penyelenggara Pemilu harus menyusun aturan main yang koperhensif untuk mencegah konflik tersebut.
“Program-program sosialisasi KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak boleh sekadar mendorong hak pilih dan teknis Pemilu. Tapi, harus mendorong kepada hal-hal substansial. Misalnya, bagaimana menghargai perbedaan pendapat. Sosialisasi semacam itu,akan membuat masyarakat lebih dewasa dalam berpolitik,” jelas dia.
Terpisah, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengamini, tantangan pengawasan pemilu ke depan berada dalam ranah media sosial. Karenanya, ia meminta seluruh jajaran Bawaslu di daerah memetakan data kerawanan terkait pengawasan di media sosial.
Baca juga : Pevita Pearce: Sri Asih, Jawaban Kegelisahan
“Dalam memetakan kerawanan di daerah, Bawaslu harus bekerjasama dengan berbagai lembaga. Misalnya, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) daerah dan Badan Intelejen Negara (BIN) daerah,” pinta Bagja.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty menambahkan, penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) diharapkan bisa memformulasikan (jadi rumusan) strategi pengawasan pemilu ke depan. “Strategi tersebut merupakan rujukan kerawanan pengawasan pemilu, yang tidak hanya menyasar pihak eksternal, tapi juga ke tingkat internal Bawaslu,” tandasnya. ■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya