Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
- Menkes: Kesehatan Salah Satu Modal Utama Capai Target Indonesia Emas 2045
- Jangan Sampai Kehabisan, Tiket Proliga Bisa Dibeli di PLN Mobile
- Temui Cak Imin, Prabowo Ingin Terus Bekerjasama Dengan PKB
- Jaga Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 25 Bps Jadi 6,25 Persen
- Buntut Pungli Rutan, KPK Pecat 66 Pegawainya
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Dibeberin Ketua Komnas HAM, Diplomasi HAM Internasional Terbelah Dua Pandangan
Minggu, 18 Desember 2022 20:35 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Dalam dunia diplomasi HAM internasional selalu ada ketegangan antara pandangan separatis dengan pandangan solidaris.
Hal tersebut dikatakan Ketua Komnas HAM yang juga Dosen Universitas Paramadina, Atnike Sigiro pada acara Diskusi Publik Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) dan CIDE yang bertema “Evaluasi 2022 dan Proyeksi 2023: Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi HAM: Politik dan Keamanan,” Kamis (15/12) lalu.
Menurut dia, pandangan separatis bukalah pandangan pemisahan diri dari suatu wilayah teritori negara. Tetapi, pandangan yang melihat bahwa sebetulnya dalam diplomasi internasional itu negara-negara tetap mempunyai batas kedaulatan negara tertentu dengan negara lain. “Atau dibatasi oleh teritori antar negara,” ujarnya.
Baca juga : PDRI Ngarep Universitas Level Internasional Dibangun Di IKN
Sementara, pandangan solidaris melihat bahwa diplomasi itu tidak dibatasi oleh batas-batas kedaulatan negara, karena masalah HAM pada dasarnya sesuatu yang bersifat lintas batas negara, dan bersifat internasional-global, tanpa melihat atau mengenali asal usul kebangsaan, ras, kelamin, etnis, agama dan sebagainya. Kedua cara pandang di atas selama ini selalu menjadi perdebatan dalam dunia diplomasi HAM internasional.
Menurut dia, pandangan separatis memandang bahwa HAM sesuatu yang sangat penting dan kuat. Lalu upaya untuk memperhatikan HAM sangat tergantung dari kepentingan nasional suatu negara.
“Yurisdiksi menjadi penting dalam pandangan separatis ini. Namun, pada akhirnya praktiknya sangat ditentukan oleh politik nasional atau kedaulatan suatu negara,” katanya.
Baca juga : RI Jadi Ketua ASEAN 2023, Wamendag Dorong Integrasi Perdagangan
Sementara pandangan solidaris, HAM merupakan sesuatu yang tidak mengenal batasan gender, ras, etnis dan lain-lain. Maka pandangan ini juga mendorong adanya satu pemikiran tentang solidaritas HAM di tingkat internasional. “Dengan demikian kita bisa saja peduli dengan bangsa lain yang sedang tertindas,” tegasnya.
Sementara, Dosen Universitas Paramadina yang juga Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, Al A’raf mengatakan, setelah era perang dingin usai, isu HAM menjadi isu utama yang menguat dan mendapat tempat dalam studi politik dan isu internasional. Tapi, kemudian menjadi masalah karena banyak negara dunia ketiga yang melakukan represi dan kekerasan melawan kemanusiaan. Seperti yang terjadi di Bosnia, Myanmar, Aceh dan Papua.
“Masalah HAM menjadi satu diskursus penting. Namun meski menjadi isu penting, kebijakan luar negeri adalah refleksi cermin politik dalam negeri suatu negara. Hanya negara-negara yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kebijakan HAM di dalam negeri bisa confiden untuk melakukan politik luar negeri terkait HAM internasional,” katanya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya