Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Ini 5 Catatan Penting Prof. Tjandra, Soal Tren Berobat Ke Luar Negeri Di Indonesia

Minggu, 12 Maret 2023 14:36 WIB
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Istimewa)
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti pemberitaan RM.id bertanggal 6 Maret 2023 yang berjudul “Jokowi: Masyarakat Tak Perlu Berobat ke Luar Negeri”.

Pada tanggal yang sama, Presiden Jokowi juga mencuitkan hal serupa.

"Hampir 2 juta orang Indonesia masih memilih berobat ke luar negeri setiap tahun. Kurang lebih 1 juta ke Malaysia, 750 ribu ke Singapura, sisanya ke Jepang, Amerika, Jerman, dan lain-lain. Gara-gara ini, kita kehilangan devisa Rp 165 triliun karena modal keluar," tulis Jokowi via Twitter.

Topik soal banyaknya warga RI yang berobat ke luar negeri, sebetulnya bukan barang baru. 

RM.id edisi 14 Februari 2019 misalnya, sudah menulis dua berita terkait fenomena tersebut. Judulnya: "Setiap Tahun, 90.000 Orang Indonesia Berobat di Mahkota Medical Center". Selain itu, juga ada judul "Terus Meningkat, Peminat Wisata Medis Di Melaka”.

Sejak tahun 2004, Bank Dunia sudah memaparkan, devisa Indonesia yang lari ke luar negeri karena banyaknya pasien yang berobat ke mancanegara, mencapai sekitar Rp 70 triliun. Sesuai data keuangan pada saat itu.

"Karena sudah lama sekali berlarut, hal ini tidak dapat dibiarkan saja. Jangan hanya menjadi berita sesaat semata. Kita perlu analisis mendalam, dan mengambil tindakan nyata untuk mengatasinya," kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Minggu (12/3).

Dia pun menyampaika lima hal penting, terkait merebaknya kembali berita tentang banyaknya pasien Indonesia, yang berobat ke luar negeri.

Pertama, memang ada persepsi umum, bahwa di luar negeri lebih bagus daripada di dalam negeri. Ini berlaku tak hanya untuk masalah kesehatan, tetapi juga hal-hal lain.

Baca juga : Putus Rantai Penularan, Prof. Tjandra: Penemuan Kasus Tuberkulosis Harus Ditingkatkan

Khusus untuk pengobatan, hal ini kemudian dipengaruhi lagi dengan “berita-berita” yang dikesankan bagus di luar negeri.

Berita yang cepat sekali beredar, bisa saja benar. Tapi, bisa juga salah. Namun kerap kali, telanjur dianggap benar saja.

"Salah satu contoh konkret adalah berita yang mengabarkan dokter di Singapura tertawa, karena mereka menyebut istilah stroke kuping itu tidak ada di dunia medis," kata Prof. Tjandra. 

Namun, bila kita googling, mungkin saja akan ada penjelasan ear stroke is also known as sudden sensorineural hearing loss. - https://www.qhms.com/en/health-info/health-article/ear-stroke.

Tanpa bermaksud berpolemik, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini mengatakan, informasi yang beredar memang perlu dianalisis kebenarannya. Sebelum cepat-cepat mengambil kesimpulan.

Dalam hal ini, tentu baik juga, bila diungkap tentang fakta-fakta keberhasilan pelayanan rumah sakit nasional.

Berapa jumlah pasien yang berobat, dan berapa yang sembuh dengan baik.

"Ini perlu, agar berita yang beredar bisa lebih seimbang," ucap Prof. Tjandra.

Kedua, untuk beberapa pemeriksaan dan pengobatan tertentu, harga di negara tetangga memang lebih murah dibanding Indonesia.

Baca juga : Resmikan Rumah Sakit Mayapada, Jokowi: Masyarakat Tak Perlu Berobat ke Luar Negeri

Meski dalam hal ini, Prof. Tjandra tak punya data perbandingan angka secara pasti.

"Salah satu penjelasannya, harga alat kedokteran di Indonesia memang lebih mahal dibanding sebagian negara tetangga," ujar Prof. Tjandra, yang juga Guru Besar FKUI.

Dia pun menceritakan pengalaman pribadinya, sewaktu bekerja di WHO Asia Tenggara dan berdomisili di New Delhi, India.

Prof. Tjandra bilang, teman-teman dokter yang datang atau belajar ke India, kerap membawa berbagai alat kesehatan, yang memang lebih murah harganya.

"Kalau di India, obat-obatan juga jauh lebih murah dibanding Indonesia. Makanya, sampai sekarang, saya makan obat rutin yang saya beli dari India. Apakah titip ke teman, atau beli sendiri ketika saya ke Mumbai dua minggu lalu," ungkapnya.

Ketiga, soal kemampuan dokter dan tenaga kesehatan lain, secara umum, Indonesia tak kalah baik dengan negara tetangga.

Dalam berbagai arena ilmiah kedokteran, Prof. Tjandra menyebut, tak sedikit dokter dan pakar kesehatan kita yang cukup menonjol dan mendapat apresiasi dihormati.

Peran penting dokter dan pakar kita di berbagai organisasi internasional kesehatan dan kedokteran regional dan dunia, juga diakui.

"Tentu saja, ada variasi dalam tenaga dan pelayanan kesehatan di negara kita, antara tempat satu dengan lainnya. Secara umum, pelayanan kesehatan kita terus membaik dari waktu ke waktu. Ini tentu perlu terus ditingkatkan, sesuai perkembangan ilmu," terang Prof. Tjandra.

Baca juga : Smartfren Dukung Percepatan Pengembangan Metaverse Di Indonesia

Keempat, yang banyak dibahas adalah lebih cepatnya pelayanan di negara tetangga, antara pemeriksaan dan hasil. Sehingga, keputusan tindakan yang akan dilakukan, dapat segera dilakukan.

"Dalam hal ini, yang perlu kita lakukan adalah melakukan manajemen pengaturan yang lebih baik. Termasuk, koordinasi antar tenaga dan unit kerja di institusi pelayanan kesehatan kita. Disertai keramahan pelayanan dan penerapan prinsip dasar hospitality yang baik," tutur Prof. Tjandra.

Kelima, upaya fundamental menyelesaikan masalah. Terkait harga alat kesehatan dan obat-obatan, Prof. Tjandra menilai perlunya analisis terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.

"Tentu masing-masing pihak punya argumentasinya sendiri. Tapi, tujuan akhirnya kan jelas. Harga obat dan alat kesehatan harus lebih murah dari sekarang," ucapnya.

Dia juga menekankan pentingnya keberpihakan kebijakan pemerintah, untuk semua insan kesehatan. Agar dapat menjalankan tugasnya dan menjalani kehidupannya dengan baik.

"Saling menyalahkan dan atau membela diri, tidak akan menyelesaikan masalah," ujarnya.

"Untuk kelima yang mendasar ini, tiga kunci utamanya adalah leadership, governance dan accountability," tegas Prof. Tjandra. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.