Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Denny JA: Mungkinkah Beragama Tanpa Ulama, Pendeta Dan Biksu?

Rabu, 22 Maret 2023 22:53 WIB
Denny JA selaku Ketua Esoterika Forum Spiritualitas saat memberikan sambutan dalam acara Perayaan Nawruz Agama Bahai di Function Hall, Countrywoods Residences, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Selasa (21/3). (Foto: Ist)
Denny JA selaku Ketua Esoterika Forum Spiritualitas saat memberikan sambutan dalam acara Perayaan Nawruz Agama Bahai di Function Hall, Countrywoods Residences, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Selasa (21/3). (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mungkinkah beragama tanpa ulama, pendeta dan biksu? Akankah tiba tahap itu ketika era pertumbuhan agama, pencarian spiritual individu yang tak lagi memerlukan peran ulama, pendeta dan biksu?

Pertanyaan itu muncul dalam benak Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA, setelah membaca penggalan tulisan Friederich Affolter (2015) yang menulis soal agama Bahai di Iran.

Selain Denny JA, dalam acara Forum Lintas Agama Esoterika tersebut hadir juga Nasrin Astani selaku penganut agama Baha’i. Dia menceritakan sejarah agama Baha’i yang tidak memiliki ulama, pendeta, atau biksu. Di samping itu, hadir juga tokoh Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil. Ia menceritakan, tentang lahirnya agama Bahai yang mirip dengan agama Kristen.

Pada acara yang sama juga digelar pembacaan puisi karya Denny JA berjudul “Di Hari Raya Nowruz, Haida Mendengar Sejarah”, oleh Monica JR serta puisi karya sastrawan Ahmad Gaus A.F berjudul “Bulan di Atas Menara”. Selain itu, acara yang dihadiri oleh hampir 100 orang dari beragam latar belakang agama itu juga diwarnai dengan pendarasan teks lintas iman, pembacaan syair serta kidung teks suci, serta musik.

“Kita memasuki zaman pencerahan yang sudah matang bagi pertumbuhan individu. Karena itu, para individu itu perlu mencari kebenaran, jalan agama, jalan spiritualnya sendiri, secara mandiri, melalui elaborasinya sendiri,” begitu dituturkan oleh Denny JA, merujuk pada pernyataan pendiri agama Bahai Mirza Ḥusayn-Ali Nuri yang bergelar Bahá'u'lláh, sebagaimana ditulis Affolter.

Baca juga : Penjelasan Guru Besar Farmasi Esa Unggul tentang Amuba Pemakan Otak

“Peran mediator seperti ulama, pendeta dan biksu tak lagi diperlukan sebagai otoritas spiritual. Semua penganut agama sama posisinya, setara, sama rendah dan sama tinggi,” sambungnya.

Menurut Denny JA, pada tahap ini, ajaran apapun dan dari agama manapun dilihat sebagai konstruksi sosial. Maka, yang menjadi pertanyaan kondisi sosial serta konteks masyarakat bagaimana yang memerlukan peran ulama, pendeta dan biksu.

Denny JA menyebut, data terkait persentase buta huruf dalam sejarah dari abad ke abad dan teknologi tinggi untuk menggandakan serta menyebarkan informasi. “Ternyata sampai dengan abad 14, jumlah penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis hanya 10 persen. Sebanyak 90 persen warga dunia kala itu masih buta huruf. Bahkan, di era Kerajaan Roma sebelum kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus), yang bisa membaca dan menulis hanya 3 persen penduduk,” terang Denny JA dalam Forum Lintas Agama Esoterika Merayakan Hari Raya Agama Baha’I yang digelar di Countrywood, Ciputat, Tangerang Selatan pada Selasa (21/3).

Denny JA mengatakan, sebelum ada mesin cetak yang baru ditemukan pada 1450, setiap kitab suci atau buku hanya disalin tangan. Peredaran kitab suci dan buku akibatnya sangat terbatas. Jika itu konteks sosialnya, maka tidak heran hingga abad ke-14, mayoritas warga, tak punya akses kepada kitab suci dan buku penting. Bahkan, kopi kitab suci dan buku pengetahuan pun tidak tersedia luas.

Dalam konteks seperti ini, peran ulama, pendeta dan biksu menjadi sentral dan maha penting. Hanya kelas ini yang memperoleh akses dan bisa memahami kitab suci dan buku pengetahuan. “Tanpa peran ulama, pendeta, dan biksu mayoritas publik yang tak bisa membaca tak bisa memperoleh pencerahan dari pesan-pesan agama dan pengetahuan,” ungkap Denny JA.

Baca juga : TGS Ganjar Gelar Kajian Pendidikan Jiwa Dan Akhlak Di Angkola Timur

Maka dari itu, kata dia, harus berterima kasih kepada ulama, pendeta, dan biksu sebelum abad ke-14 karena peran besar mereka dalam mengubah kesadaran publik. Ulama, pendeta dan biksu awalnya hanya penyampai pesan agama dan pengetahuan, lalu terjadi pergeseran peran karena publik tak memiliki informasi pembanding, sehingga perantara ini menjelma memiliki otoritas spiritual.

Ulama, pendeta dan biksu kemudian menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang mempunyai surplus kekuasaan. Ulama, pendeta dan biksu pun dipersepsikan dan dimitoskan menjadi pengganti Nabi, bahkan seolah paling tahu kehendak Tuhan.

Saat ini, kata Denny JA, zaman sudah berubah di mana kemampuan publik meningkat pesat dan teknologi membawa suasana baru. Pada abad ke-21, persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100 persen. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87 persen bisa membaca dan menulis.

Kini sudah ada internet yang menyimpan aneka informasi lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah. Sebanyak 65 persen penduduk dunia kini mengakses internet, sehingga mudah sekali membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci. “Mudah sekali bagi siapapun untuk membanding- bandingkan tafsir agama yang beragam dari yang paling kiri hingga paling kanan,” ujarnya.

Denny JA mengatakan, di era seperti ini memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. Individu tak lagi memerlukan otoritas spirtual yang seolah menjadi juru bicara Nabi atau Tuhan. Maka, di titik inilah, peran ulama, pendeta dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual. Namun, yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman, dan pemahaman.

Baca juga : Peran Perempuan Sangat Besar Dalam Pelestarian Adat

Apalagi, kata Denny JA, saat ini era di mana setiap individu dilindungi hak asasinya yang bisa memilah sendiri dan memilih dari 4.300 agama yang ada, serta puluhan tafsir yang ada yang sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya. Menurut Denny JA, dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Sebab, riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama.

Menurutnya, yang dibutuhkan komunitas itu lebih sebagai manajemen dan administrasi modern. Dimana pengurusnya dipilih secara berkala oleh komunitasnya sendiri. Posisi para pemimpin agama ini bisa berjenjang dari tingkat komunitas kecil, hingga nasional dan internasional. Organisasi jenis ini cukup hanya memiliki otoritas manajemen, tapi tak punya otoritas spiritual. Pada tingkat individu itulah otoritas spiritual berada.

Agama Bahai sendiri sudah berjalan selama 180 tahun. Dalam doktrin agama mereka, memang secara sengaja mereka tak memberi tempat kepada perantara, seperti ulama, pendeta dan biksu. Tak ada sejenis ulama, pendeta atau biksu dalam agama bahai. Agama lain di luar Bahai pada waktunya juga akan mengarah ke sini,” ungkap Denny JA.

Saat ini, kemungkinan manusia tengah memasuki bab terakhir dari sejarah agama yang perlahan tapi pasti tak memerlukan otoritas spiritual itu lagi. Ulama, pendeta dan biksu akan tetap hadir, tapi peran mereka tak lagi signifikan seperti di era sebelumnya.

 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.