Dark/Light Mode

Catatan Dr. Devie Rahmawati

Fenomena Antre dalam Perhelatan Mudik

Senin, 8 April 2024 12:57 WIB
Dr. Devie Rahmawati (Foto: Istimewa)
Dr. Devie Rahmawati (Foto: Istimewa)

Mengantre sebagai Warisan Peradaban

RM.id  Rakyat Merdeka - Mudik selalu identik dengan mengantre. Dari mulai antre membayar tol, antre masuk rest area, antre di pelabuhan penyeberangan, hingga antre masuk toilet. Mudik yang sejatinya menyenangkan, dapat menjadi sangat melelahkan, jika proses antre tidak dijalankan secara “kaffah”.

Dari yang menyerobot antrean, membuat barisan baru, atau mengantre dari samping, mampu menyulut rasa frustasi dan emosi yang berlebihan. Kondisi ini membuat saya teringat kenangan manis selama “nyantri” di Swansea University, Wales, nama negara bagian yang disematkan sebagai gelar kehormatan bagi Pangeran Charles, Lady Diana, Pangeran William, hingga Kate Middleton.

Tinggal di UK, entah itu di kota seperti Cardiff, Swansea, maupun London, tidak akan pernah membuat siapa pun “frustasi” untuk urusan antre. Budaya mengantre di Inggris telah berkembang selama berabad-abad dan menjadi bagian penting dari tata krama dan norma sosial masyarakat Inggris, yang bahkan menjadi salah satu tes bagi para imigran yang ingin mendaftar sebagai warga di negara yang memiliki dua universitas yang usianya hampir 1.000 tahun ini. Asal usul budaya mengantre di Inggris dapat dilacak kembali ke zaman Renaissance pada abad ke-16 dan ke-17. Bahkan di banyak negara maju, antre merupakan warisan peradaban yang menjadi ciri dan identitas kebesaran bangsanya.

Secara historis, konsep antrean Pasca-Perang Dunia ke II di Inggris, mencerminkan hubungan antara rutinitas sehari-hari, politik, sosial, dan ekonomi yang terus berkembang. Bahkan, lahir peraturan khusus tentang mengantre, yang baru dicabut 50 tahun kemudian, setelah aturan tersebut sukses terinternalisasi dan menjadi “DNA” setiap individu di Inggris, yang tak lekang hingga kini.

Sedikit mengulas, Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19, telah mendorong praktik mengantre sebagai aktivitas yang perlu dikelola serius oleh negara. Dengan adanya urbanisasi dan kepadatan penduduk di kota-kota industri, sistem antrean menjadi penting untuk menjaga ketertiban dan efisiensi dalam berbagai layanan publik.

Dampak Perang Dunia II terhadap perekonomian dunia, tidak terkecuali di Inggris, memaksa masyarakat pun menghadapi situasi yang menantang, ketika mereka harus mengantre untuk mendapatkan barang-barang pokok yang langka, seperti makanan dan bahan bakar. Mengantre dengan tertib dan teratur menjadi simbol ketahanan dan solidaritas Bangsa Inggris dalam menghadapi kesulitan perang. Budaya ini bahkan telah memunculkan apa yang dikenal dengan “pakem 6”, yaitu:

  • Perkirakan 6 menit waktu tunggu sebelum menyerah;
  • Jika ada 6 orang dalam antrean, gelisah dapat muncul;
  • Kurang dari 6 inchi (15 cm) jarak antrean, bisa menyulut kecemasan;
  • Lebih memilih menunggu 6 jam untuk konser artis favorit, daripada 6 menit untuk ATM

Tidak Sabar Antre, Mengancam Kenyamanan Mudik

Tidak sedikit kisah memprihatinkan di negeri ini, yang ditengarai minimnya budaya antre. Dilansir dari dari sebuah media online, di Riau sempat beredar video yang menunjukkan kelakuan sopir pikap menyerobot antrean saat hendak mengisi BBM di sebuah SPBU. Seorang wanita yang sudah mengantre mobilnya tiba-tiba dipepet oleh pikap tersebut. Melihat gelagat ingin menyerobot antrean, wanita tadi memajukan mobilnya agar tidak ada celah untuk pikap menyerobot. Tapi malah sopir pikap dengan sengaja ingin menabrak mobil wanita tersebut. Sedangkan di Jakarta Barat, seorang pria yang menyerobot antrean BBM tidak terima ditegur wanita yang sudah mengantre. Nahasnya, si wanita malah dianiaya oleh pengendara pria tersebut dan video penganiayaan ini sempat viral.

Mengantre jelas memerlukan kesabaran dan tanggung jawab bersama. Beberapa faktor psikologis dan situasional yang mungkin menyebabkan seseorang menjadi tidak sabar saat mengantre adalah berubahnya persepsi waktu. Ketika mengantre, seseorang cenderung merasa waktu berjalan lebih lambat daripada sebenarnya. Ditambah aspek ketidakpastian, ketika seseorang tidak tahu berapa lama waktu tunggu atau mengapa antrean menjadi lebih lambat. Suhu, kebisingan, kesesakan juga meningkatkan ketidaknyamanan dan ketidaksabaran selama mengantre.

Baca juga : Hari Kesehatan Sedunia 2024

Mengantre di saat mudik pun berpotensi memenuhi berbagai tantangan di atas. Tidak mengantre di satu titik pintu tol saja misalnya, maka kemacetan panjang dalam waktu singkat dapat tercipta. Saat musim mudik tiba, terjadi lonjakan volume kendaraan di jalan raya yang signifikan, sehingga kapasitas jalan raya menjadi tidak mencukupi, apalagi saat banyak pemudik yang memilih waktu keberangkatan yang sama, seperti H-2 atau H-3 Lebaran.

Belum lagi, jika terjadi kecelakaan dan insiden lalu lintas yang terjadi di jalan raya atau tol saat mudik, yang dapat memperparah kemacetan. Kondisi cuaca buruk seperti hujan lebat atau kabut tebal juga dapat mengurangi kapasitas jalan dan menyebabkan pengemudi lebih berhati-hati sehingga mengurangi kecepatan laju kendaraan. Faktor yang paling sering ditemui ialah perilaku tidak disiplin sebagian pengemudi. Contohnya, seperti berhenti sembarangan, menerobos jalur, atau tidak mematuhi rambu lalu lintas, sehingga memperburuk kondisi kemacetan saat mudik.

Mengantre dalam Kerangka Sosial

Fenomena mengantre dan dampaknya sudah banyak dibahas dalam kerangka sosial, terutama teori pilihan rasional, teori norma sosial, dan teori manajemen kesan. Teori pilihan rasional (rational choice theory) adalah sebuah perspektif dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa individu cenderung membuat pilihan atau mengambil tindakan yang rasional dan efisien untuk memaksimalkan keuntungan atau utilitas mereka sendiri. Dalam konteks mengantri, individu membuat pilihan untuk mengantre atau tidak, berdasarkan pertimbangan rasional tentang biaya dan manfaat. Seseorang akan mengantre, jika dianggap menguntungkan atau memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan kerugian. Beberapa pertimbangan dari pilihan dalam konteks antrean antara lain:

● Utilitas. Seseorang akan memilih untuk mengantre jika manfaat yang diperoleh dari mengantre lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (waktu, usaha, kenyamanan).

● Informasi. Individu akan mengevaluasi informasi yang tersedia tentang panjang antrean, waktu tunggu perkiraan, serta layanan yang ditawarkan, sebelum memutuskan untuk mengantre atau tidak.

● Alternatif. Orang akan membandingkan antrean dengan alternatif lain yang tersedia, seperti datang kembali di waktu yang berbeda, atau mencari layanan serupa di tempat lain.

● Rasionalitas Terbatas. Meskipun berusaha rasional, individu memiliki kemampuan kognitif dan informasi yang terbatas, sehingga keputusan mengantre tidak selalu optimal.

● Biaya Peluang. Seseorang akan mempertimbangkan biaya peluang (opportunity cost) dari mengantre, seperti waktu yang terbuang yang bisa digunakan untuk aktivitas lain.

Lebih lanjut dalam teori norma sosial (social norms theory) dijelaskan tentang bagaimana norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok atau masyarakat, dapat mempengaruhi perilaku individu secara tidak tertulis ataupun ekspektasi terhadap perilaku pantas atau tidak pantas. Dalam kerangka mengantre, teori ini menjelaskan bagaimana norma sosial seperti budaya mengantre, terbentuk dan dipertahankan dalam masyarakat. Norma sosial mengantre dapat mempengaruhi perilaku individu melalui ekspektasi dan sanksi sosial.

Baca juga : Kapolri Tegaskan TNI-Polri Komitmen Beri Rasa Aman Ke Warga yang Mudik

● Norma Mengantri. Di banyak budaya, mengantri dengan tertib dan teratur dianggap sebagai norma sosial yang berlaku. Ini menjadi ekspektasi perilaku yang diharapkan dalam situasi mengantre.

● Penyimpangan dari Norma. Jika seseorang tidak mengantre atau menyerobot antrean, hal ini dianggap sebagai penyimpangan dari norma sosial yang dapat mengundang sanksi sosial seperti kecaman, cemoohan, atau penolakan dari orang lain.

● Tekanan Kelompok. Individu cenderung mengikuti norma mengantre karena adanya tekanan kelompok (group pressure) untuk mematuhi norma yang berlaku agar diterima oleh kelompok sosialnya.

● Internalisasi Norma. Seiring waktu, norma mengantre dapat terinternalisasi dalam diri individu melalui proses sosialisasi dan pembelajaran, sehingga mereka secara sukarela mematuhi norma tersebut tanpa perlu adanya tekanan eksternal.

Terakhir, dalam teori manajemen impresi (impression management theory) dijelaskan bagaimana individu berusaha untuk mengendalikan dan mengatur persepsi orang lain terhadap diri mereka sendiri. Teori ini berfokus pada strategi yang digunakan orang untuk membentuk kesan tertentu di mata orang lain, baik secara sadar maupun tidak, termasuk urusan mengantre. Antre dengan tertib, dapat membantu seseorang memproyeksikan citra yang positif dan diterima secara sosial.

● Menunjukkan Kesabaran. Dengan mengantri secara tertib dan sabar, seseorang dapat menciptakan kesan bahwa dirinya adalah orang yang memiliki kendali diri, disiplin, dan menghormati aturan/norma sosial.

● Menghindari Sanksi Sosial. Melanggar norma mengantre seperti menyerobot antrian dapat menciptakan kesan negatif dan mengundang sanksi sosial seperti kecaman atau penolakan dari orang lain.

● Menjaga Citra Diri. Bagi beberapa orang, mengantre dengan baik dapat menjadi cara untuk memproyeksikan citra diri yang positif, seperti orang yang bertata krama, memiliki kesabaran, atau patuh pada aturan.

● Membangun Reputasi. Dalam konteks tertentu, seperti bisnis atau layanan publik, mengantre dengan tertib dapat membantu membangun reputasi profesional dan menunjukkan penghargaan terhadap waktu orang lain.

Baca juga : Ratusan Pramusaji Lomba Balap Lari

● Pengaruh Situasional. Situasi tertentu seperti mengantre di tempat formal atau di hadapan orang-orang penting, dapat mendorong seseorang untuk mengelola kesan dengan mengantre secara lebih disiplin.

Membudayakan mengantre saat mudik, penting untuk menerapkan pendekatan norma sosial dan kepatuhan. Pertama, norma sosial mengantre perlu diperkuat sebagai perilaku yang diharapkan dan dihormati pada saat mudik. Hal ini, dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan media massa untuk mempromosikan norma mengantre saat mudik. Selain itu, pendekatan kepatuhan juga diperlukan dengan meningkatkan persepsi otoritas dari petugas/aparat yang mengatur lalu lintas dan yang mengawasi antrean.

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah pendekatan rasional, manajemen impresi, dan edukatif. Informasi yang jelas tentang waktu tunggu dan jalur alternatif harus disediakan untuk membantu pengambilan keputusan yang rasional. Selain itu, manfaat dan keuntungan dari mengantre dengan tertib, seperti kenyamanan, keamanan, dan efisiensi, perlu dikomunikasikan dengan baik.

Dalam hal manajemen impresi, perlu ditingkatkan kesadaran bahwa mengantre adalah cara untuk menunjukkan kesabaran, disiplin, dan menghormati orang lain. Selain itu, melibatkan public figure/selebriti untuk menjadi teladan dalam mempraktikkan mengantre saat mudik juga dapat membantu. Terakhir, pendekatan edukatif juga penting dengan mengintegrasikan pendidikan tentang pentingnya mengantre ke dalam kurikulum sekolah sejak dini dan melakukan kampanye serta sosialisasi secara kontinyu, bukan hanya menjelang musim mudik.

Sebagai tercantum dalam Al-Qur'an Surat Al-Mulk ayat 15, bahwa Tuhan telah menjadikan bumi yang mudah dijelajahi. Mari belajar dari Inggris, untuk merasakan berkah menjelajahi bumi pertiwi dengan budaya antre, demi nyamannya silahturahmi di hari yang fitri.

Dr. Devie Rahmawati
Peneliti dan Pengajar Tetap Vokasi UI

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.