Dark/Light Mode

Catatan Jimly

Di Era Jokowi, Hak Angket DPR Tak Pernah Digunakan

Minggu, 25 Februari 2024 08:30 WIB
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia UI, Prof Jimly Asshiddiqie. (Foto: DKPP)
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia UI, Prof Jimly Asshiddiqie. (Foto: DKPP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Prof Jimly Asshiddiqie ikut menanggapi wacana kubu 01 dan 03 yang ingin menggulirkan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurut Prof Jimly, penggunaan hak angket mesti dilihat secara positif dalam penguatan sistem demokrasi. 

Ia menceritakan, hak angket pernah digunakan di era Presiden BJ Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY. "Hanya di masa pemerintahan Presiden Jokowi, hak angket DPR belum pernah digunakan," kata Jimly, dalam keterangan tertulis kepada Rakyat Merdeka, Sabtu (24/2/2024). 

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, hak angket atau penyelidikan merupakan salah satu fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan. Hak angket mencerminkan berjalannya fungsi "checks and balances" antar cabang kekuasaan eksekutif vs legislatif.  Karena itu, rencana pengunaan hak angket sebagai proses politik di DPR harus dilihat secara positif saja dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.

Sementara itu, lanjut Jimly, proses hukum penyelesaian perkara melalui peradilan administrasi di Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil pemilu di MK harus juga dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidak-puasan terhadap proses dan terhadap hasil pemilu.

Kedua proses politik dan hukum ini sama-sama penting untuk memindahkan ketidak-puasan dan kemarahan publik terhadap proses dan hasil pemilu, terutama hasil pilpres, melalui mekanisme yang resmi ke ruang-ruang sidang yang resmi di DPR, ataupun di Bawaslu dan di MK. 

"Mari kita saksikan kedua proses itu dengan positif, sabar, dan dengan kepercayaan dan sikap optimis bahwa dinamika ketegangan dan luapan emosi publik, pada waktunya, akan reda. Dan mulai tanggal 1 dan tanggal 20 Oktober 2024 akan menghasilkan pemerintahan baru yang dapat bekerja dengan sebaik-baiknya," paparnya. 

Baca juga : Pakar: Hak Angket DPR Tidak Dapat Batalkan Hasil Pemilu

Dia berharap, DPR menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. DPR harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket. Karena itu, harus dipertimbangkan dengan sungguh apa maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan dalam hak angket.

"Jangan sampai melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan Presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP," ujarnya. 

Selain itu, perhatikan juga jadwal dan waktu sehingga tidak mengganggu pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. "Tujuannya agar jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945," kata Jimly. 

Jimly mengingatkan, lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, DKPP, harus menyadari dan disadari kedudukannya sebagai cabang kekuasaan ke-4 di luar cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan cabang kekuasaan kehakiman. 

Kata dia, Presiden/Wakil Presiden dan para anggota adalah peserta pemilu, sedangkan kekuasaan kehakiman, berfungsi mengadili proses dan hasil pemilu. Karena itu, KPU, Bawaslu dan DKPP adalah kekuasaan tersendiri yang tidak boleh tunduk di bawah tekanan para anggota DPR ataupun pasangan calon presiden/wapres sebagai peserta pemilu. 

Apapun hasil pelaksanaan hak angket DPR tidak boleh dipaksakan efektifitasnya terhadap keputusan KPU mengenai teknis pelaksanaan tahapan pemilu beserta hasilnya kecuali atas perintah Bawaslu atau PT-TUN, dan Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang berlaku final dan mengikat.

Baca juga : Tanggapi Santai Pertemuan Jokowi-Paloh, Hanura: Tak Usah Dicurigai Macam-Macam

Jimly menjelaskan, pelanggaran yang biasa disebut kecurangan massif selalu terjadi dalam pemilu sejak Orde Baru, dan juga pemilu masa reformasi sejak 1999. Sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada tahun 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, dan bahkan 2024 pada saat dimulainya praktik pemilu serentak. 

Pelanggaran massif selalu terjadi di semua pemilu, dan cenderung makin meningkat, termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri, dan puncaknya pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatianterpusat ke pilpres. 

Pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM) sering terjadi dalam praktik di pilkada, terutama pilbup dan pilwako, karena perhatian tertuju ke pilpres, pada pemilu 2024 ini muncul persepsi umum, kecurangan terjadi karena faktor Presiden Jokowi, sehingga dinamika politik di sekitar proses dan hasil pemilu 2024 berkembang makin tegang dan penuh emosi. 

"Mari turunkan emosi kita, dan tingkatkan semangat musyawarah kita menemukan kebenaran dan keadilan dari aneka perbedaan karena perbedaan data dan informasi, perbedaan perspektif atau sudut pandang, atau perbedaan kepentingan, yang ketiganya dapat dipertemukan dengan musyawarah dan perdebatan rasional di ruang sidang untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kemajuan peradaban dalam kehidupan berbangsa bernegara," pungkasnya.

Untuk diketahui, usulan hak angket ini pertama kali diusulkan Capres 03, Ganjar Pranowo. Ganjar mengusulkan DPR menggulirkan hak angket untuk menginvestigasi kecurangan di Pemilu 2024.

Ganjar menegaskan, usulan hak angket DPR terkait Pemilu 2024 bukan gertakan. "Kalau saya sebenarnya simpel saja. Angket adalah cara terbaik dengan kondisi Pemilu seperti ini," kata Ganjar.

Baca juga : Ketemu Dengan Paloh, Jokowi Akui Bahas Perpolitikan

PDIP pun setuju dan mendukung usulan Ganjar. NasDem, PKS dan PKB kasih lampu hijau dukung hak angket. Sementara, Golkar, Gerindra, PAN dan Demokrat menolaknya. Sedangkan PPP belum mengambil sikap.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, Jusuf Kalla (JK) menilai, hak angket baik untuk dua belah pihak, yakni penggugat dan tergugat.

JK menilai hak angket dapat menjadi momen bagi pihak tergugat untuk melakukan klarifikasi terhadap dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 ini. 

Sementara itu, dari pihak penggugat, hak angket dapat digunakan untuk menghilangkan kecurigaan yang selama ini muncul. “Jadi kalau ada angket kalau memang tidak ada soal, itu bagus sehingga menghilangkan kecurigaan,” tukasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.