Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Aturan Soal Nikel Berubah-ubah, Penambang Merana

Jumat, 22 November 2019 15:05 WIB
Bambang Darmono (Foto: Istimewa)
Bambang Darmono (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Saat menghadiri pemberian penghargaan Indonesia Mining Association (IMA), Rabu lalu, Presiden Jokowi mengatakan optimistis bahwa permasalahan defisit neraca perdagangan akan selesai dalam tiga tahun. Catatannya, jika hilirisasi mineral, khususnya nikel, berjalan dengan baik. 

“Ini sebuah pernyataan yang menantang dicermati sejalan dengan fenomena karut marut kebijakan nikel belakangan ini,” ucap Ketua Dewan Pembina Institute for Democracy, Security and Strategic Studies, Bambang Darmono, di Jakarta, Jumat (22/11).

Pemerintah pernah mengeluarkan aturan pada 30 April 2018 soal ekspor nikel ore kadar 1,7 persen ke bawah. Kebijakan ini ditempuh untuk mendorong para penambang membangun smelter dengan batas waktu sampai 11 Januari 2022. Penambang meyakini, kebijakan ini sebagai jalan tengah yang komprehensif agar kehendak UU Nomor 4/2009 tentang Minerba dapat dilaksanakan. 

Akan tetapi, dengan pertimbangan cadangan nikel yang hanya tinggal 7-8 tahun, pemerintah kemudian mempersingkat waktu ekspor menjadi 31 Desember 2019. “Percepatan ini kontan membuat gaduh pernikelan nasional. Namun, yang membuat lebih gaduh dan memicu ketidakpastian di kalangan penambang nikel yang merupakan pengusaha yang sedang membangun smelter, adalah keputusan dan pernyataan Kepala BPPM yang mengeluarkan larangan ekspor nikel ore 1,7 persen mulai 29 Oktober 2019. Pernyataan itu dikeluarkan secara lisan serta tanpa disertai pertimbangan dan alasan yang dapat dipahami,” ujar Bambang. 

Baca juga : Adaro Sabet Penghargaan Perpajakan

Bambang tak yakin keputusan pelarangan itu merupakan aspirasi dari para pengusaha nikel. “Jika melihat pernyataan Sekjen Asosisiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, tersirat bahwa keputusan itu tidak mewakili penambang nikel. Keputusan tersebut diperkirakan terkait dengan pernyataan pemerintah yang mengatakan telah terjadi peningkatan signifikan pengapalan nikel ore, yang semula pada kisaran 20 kapal/bulan menjadi 100-130 kapal/bulan. Sayangnya, tidak dijelaskan mulai kapan peningkatan tersebut terjadi,” ucapnya.

Dalam pernyataan lisan tersebut, lanjutnya, juga diperintahkan jajaran terkait untuk tidak menerbitkan izin dan pelayanan ekspor kepada kapal yang sudah tiba maupun sedang dalam proses pemuatan. “Tindakan ini sangat merugikan penambang,” ujar Bambang.

Apa pun argumentasinya, lanjut Bambang, penambang sulit memahami keputusan tersebut. Karena terkait dengan perhitungan finansial, kepercayaan, dan penyelelesaian smelter yang sedang dalam proses. Para penambang juga berusaha untuk dapat memahami kebijakan tersebut, apalagi demi kepentingan mobil listrik yang gencar dipromosikan pemerintah.

“Tetapi, tentu saja asalkan pemerintah menerbitkan kebijakan tentang tata niaga nikel yang transparan, akuntabel, dan aplikabel. Setelah larangan ekspor per 29 Oktober 2019 keluar, tidak hanya kalangan penambang yang tergabung dalam APNI yang keberatan, ketidakpastian sesungguhnya juga muncul di antara pemangku kepentingan ekspor nikel ore lainnya. Termasuk di dalam pemerintahan,” ujarnya.

Baca juga : Selalu Berubah, UU Pemilu Lahirkan Ketidakpastian Kerangka Hukum

Menurut Bambang, harga nikel kadar 1,7 persen yang dikehendaki APNI adalah harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan harga internasional. Tuntutan APNI ini bukan tidak berdasar, tetapi dihitung dari beban penambang untuk seluruh biaya produksi ditambah biaya angkut, pajak-pajak, dan royalti kepada pemerintah sebesar 5 persen.

“Inkonsistensi justru datang dari pemilik smelter yang berkewajiban menyerap nikel berkadar 1,7 persen. Mereka hanya mau membeli dengan harga 15 dolar AS dan tidak peduli terhadap HPM. Dalam kondisi tertentu, mereka bahkan tidak mau membelinya. Sebuah situasi yang sangat sulit dihadapi para penambang,” kata Bambang.

Hal penting lain terkait tata niaga nikel yang dikeluhkan penambang adalah surveyor. Pemerintah telah menunjuk lima surveyor, yaitu Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya. Kenyataannya, lima surveyor itu hanya digunakan penambang, sementara pemilik smelter menggunakan surveyor yang mereka kontrak sendiri.

“Dalam tata niaga yang tidak mengikat seperti ini, pihak yang dirugikan sudah pasti para penambang. Akibatnya yang ditimbulkan adalah penolakan terhadap nikel ore yang siap dibeli dari penambang,” terangnya.

Baca juga : Keran Impor Kapal Bekas Dibuka, Pengusaha Galangan Protes

Dalam situasi ini, kata Bambang, hanya ada dua pilihan bagi penambang, yakni menerima dengan harga murah atau memberikan nikel ore secara cuma-cuma. Karena kalau tidak penambang harus mengeluarkan biaya operasi dan pengiriman baru. Apabila menolak pasti akan memberikan ore cuma-cuma kepada pemilik smelter.

“Apabila fenomena kisruh kebijakan nikel ini benar, inkonsistensi terhadap kebijakan pemerintah terus terjadi. Suka atau tidak, pemerintah harus berdiri di tengah, bijaksana, dan adil. Rencana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang akan melakukan investigasi merupakan langkah tepat dan bagus,” ujar Bambang. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.