Dark/Light Mode

Febri Diansyah Sebut Sumber Uang PAW Dari Harun Masiku

Kamis, 24 April 2025 23:20 WIB
Foto: M. Wahyudin/RM.
Foto: M. Wahyudin/RM.

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota tim hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah menyoroti sejumlah kejanggalan dalam persidangan pemeriksaan saksi terkait dugaan suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Febri mengungkapkan adanya inkonsistensi dalam dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, dia menilai, ada percampuran antara fakta yang sebenarnya dengan asumsi-asumsi yang terungkap selama dua kali sidang pemeriksaan saksi.

Poin pertama yang paling mendasar menurutnya, soal dakwaan jaksa terkait suap Rp 600 juta yang diberikan sebanyak dua kali.

"Tadi confirm, dan sesuai dengan keterangan saksi sebelumnya yang hari Kamis minggu lalu, pemberian uang tersebut hanya terjadi satu kali. Satu kali pada tanggal 17 Desember 2019," jelas Febri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Berikutnya ia membeberkan perihal ketidaksesuaian jumlah uang yang didakwakan dengan fakta yang terungkap di persidangan.

"Yang memberikan siapa? Yang memberikan pada saat itu adalah (Agustiani) Tio kepada Wahyu, Tio bersama Saeful Bahri. Uangnya dari mana? Uangnya dari Harun Masiku. Itu yang tadi clear terbukti dan berkesesuaian dengan sidang sebelumnya. Jadi, kalau bisa disebut bagian penting dari dakwaan KPK tadi, itu gugur," tuturnya.

Menurut Febri, tuduhan jaksa bahwa suap sejumlah Rp 600 ribu tidak sesuai. Karena ternyata yang sudah diberikan baru Rp 200 juta. Sementara sisanya, uang Rp 400 juta atau 38.300 dolar Singapura tidak pernah diserahkan.

Amplop berisi uang itu sekadar diperlihatkan kepada Agustiani Tio, lalu dikembalikan kepada Saeful, mantan kader PDIP. Kesaksian Tio ini, disebutnya berkesesuaian dengan keterangan Wahyu di sidang Kamis pekan kemarin.

"Itu yang pertama terkait dakwaan, karena indikator yang bisa kita gunakan adalah dakwaan," jelasnya.

Baca juga : Hakim Simpan Uang Rp 5,5 M Di Bawah Kasur

Berikutnya soal percampuran antara fakta dan asumsi. Mengacu sidang sebelumnya atas kesaksian Wahyu Setiawan, yang seolah-olah mengungkap fakta baru.

Terutama terkait Wahyu di ruang rokok, yang mendengar percakapan Saeful Bahri dengan advokat Donny Tri Istiqomah mengenai sumber dana.

"Nah, tadi kita tanya ke Donny, yang ternyata mengatakan, satu, tidak benar semuanya di ruang rokok. Karena Saeful justru ada di musala pada saat itu, dan ibu Tio ada di musala di lantai 2 gedung KPK, di sela pemeriksaan," jelas Febri, yang membicarakan dalam konteks pasca terjadi operasi tangkap tangan (OTT).

Kemudian, ia memberi contoh bagaimana asumsi keliru dibangun berdasarkan keterangan yang tidak terverifikasi.

"Justru Wahyu yang curhat dan bertanya pada Donny. Karena Donny ini kan background-nya juga lawyer ya. Wahyu yang bertanya pada Donny, 'kalau saya ini kan kena 2 kasus', kata Wahyu, 'kira-kira hukuman saya berapa?' Itu diputarbalikkan seolah-olah Wahyu mendengar Donny dan Saeful bicara," paparnya.

"Nah, itulah yang kemarin, minggu lalu yang kami sebut sebagai kita tidak bisa berpegangan dan hukum tidak boleh bergantung pada apa yang disebut dengan testimonium de auditu atau yang disebut dalam istilah keseharian kabar burung," sambungnya.

Sehingga hal ini harus diverifikasi langsung kepada Donny, yang menjadi saksi dalam sidang kali ini. Termasuk kepada Tio yang juga jadi saksi.

Kata Febri, jika memang ada percakapan itu, seharusnya Tio pun mendengarnya. Karena berada di musala yang sama. Apalagi jarak ruang rokok dengan musala cuma 2 meter.

Sebaliknya, Tio tidak pernah mendengarnya sama sekali ketika dikonfirmasi oleh tim kuasa hukum Hasto.

"Sehingga dua saksi hari ini, sebenarnya mengonfirmasi bahwa keterangan yang disampaikan Wahyu kemarin itu tidak benar dan tidak ada. Nah, ini satu poin penting sebagai edukasi hukum bagi kita semua, jangan sampai ada orang yang dituduh dengan metode-metode testimonium de auditu tersebut," tegasnya.

Baca juga : Praktisi Hukum Sebut Marcella dan Ary Bakri Perburuk Citra Profesi Advokat

Poin lainnya, pihaknya kembali melihat campur aduk fakta dengan asumsi. Sangat banyak asumsi yang terungkap selama dua kali sidang. Ia memandang, asumsi tidak bisa dituangkan dan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi untuk kemudian merekonstruksi kebenaran.

Apalagi untuk dijadikan pembuktian hukum. Karenanya, harus dipilah mana yang betul dan mana asumsi. Hal ini ia kemukakan menyoal percakapan Tio dengan Saeful yang diperdengarkan jaksa dalam sidang.

Dalam komunikasi itu, Saeful selalu mengatasnamakan Sekjen PDIP Hasto atas tindak-tanduknya. Sehingga membuat Tio berasumsi.

"Sedangkan tadi ditegaskan bahwa Saeful, dari pertanyaan Bung Ronny ya, Saeful sering mencatut nama Pak Sekjen. Nah, tentu hal-hal seperti ini tidak bisa kita pertahankan sebagai sebuah kebenaran materiil di persidangan," ungkap Febri.

Febri menyimpulkan, setelah dua kali persidangan memberikan kejelasan dalam memilah antara fakta yang benar, asumsi, dan konstruksi yang tidak berdasar.

Selanjutnya ia memaparkan langkah konstitusional yang diambil PDI Perjuangan terkait kekosongan hukum menyangkut caleg terpilih. Termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan permintaan fatwa.

Dan dia menilai, permasalahan muncul karena KPU tidak melaksanakan putusan MA dengan benar. Lantas ia menyinggung adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi dengan menjanjikan pengurusan perkara di KPU.

"Jadi, jalur konstitusional ini kemudian dibajak oleh kepentingan orang-orang tertentu. Nah, yang terjadi sekarang seolah-olah jalur konstitusional tadi dicampuradukkan dengan yang kedua. Itu harus dipisahkan," pungkasnya.

Adapun sidang kasus PAW Harun Masiku yang menyeret Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa kali ini menghadirkan dua orang saksi dari pihak jaksa KPK.

Keduanya ialah mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan advokat Donny Tri Istiqomah.

Baca juga : Merasa Difitnah Soal Ijazah, Jokowi Pertimbangan Tembuh Jalur Hukum

Diketahui, jaksa KPK mendakwa Hasto Kristiyanto melakukan penyuapan pengurusan PAW Harun Masiku kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Perbuatan rasuahnya dilakukan bersama-sama orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah selaku advokat, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.

Jumlah uangnya sebesar 57.350 ribu dolar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan melalui perantara anggota Bawaslu Agustiani Tio.

Menurut jaksa, suap tersebut bertujuan agar Harun Masiku ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Atas perbuatan suapnya, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Selain itu, jaksa mendakwa Hasto melakukan perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa menyebut, Hasto memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020.

Kemudian meminta asistennya, Kusnadi membuang ponselnya ketika Hasto diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Juni 2024.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.