Dark/Light Mode

Reformasi Kesehatan Dan Segelintir Pihak Yang Terganggu Kepentingannya

Senin, 16 Juni 2025 08:00 WIB
Dr Hendry Hartono, MKes-Est. (Foto: Instagram/dr.hendry_navelle)
Dr Hendry Hartono, MKes-Est. (Foto: Instagram/dr.hendry_navelle)

RM.id  Rakyat Merdeka - Motif segelintir pihak yang meminta Menteri Kesehatan diganti, patut dipertanyakan. Jangan-jangan ada kepentingan dan kuasa yang terganggu. Klaim bahwa tuntutan ini didukung sejumlah akademisi juga patut dipertanyakan, karena ada beberapa orang yang merasa namanya dipakai.

Motor penggerak tuntutan tersebut juga, orangnya itu-itu saja. Hanya segelintir namun mengatasnamakan banyak pihak. Sangat aneh, mereka yang harusnya mengajar dan mengusahakan agar biaya kuliah pendidikan kedokteran tidak mahal dan tidak ada perundungan, malah sibuk protes dengan tuntutan yang tidak jelas, tidak detail dan berbasis pada gosip.

Segelintir orang ini, mungkin sudah nyaman dengan posisi dan kekuasaan di sektor pendidikan kedokteran. Mereka menolak reformasi tata kelola kesehatan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Kesehatan No 17/2023.

Pertama, mereka meminta Kolegium independen dari negara. Apa itu Kolegium? Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu. Contoh Kolegium Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang mengampu keilmuan dokter-dokter spesialis kandungan.

Fungsi Kolegium intinya menentukan prosedur tindakan medis kepada pasien harus seperti apa, siapa yang melakukan, serta obat dan alat kesehatan (alkes) apa yang dipakai. Kolegium sejak Oktober 2024 menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, bukan kepada Kementerian Kesehatan.

Sebelum UU Kesehatan, Kolegium pun tidak independen, tapi berada dibawah organisasi profesi yang mana pimpinannya bisa saja mengendalikan dan mengintervensi Kolegium. Tidak ada wewenang negara saat itu. Jangan heran kalau ada potensi tangan-tangan perusahaan obat dan alkes cawe-cawe di kebijakan Kolegium yang ujungnya berdampak pada pelayanan pasien.

Baca juga : Pramono Anung: Aturan Ini Tak Melarang Orang Untuk Merokok

Permintaan agar Kolegium tidak menjadi bagian dari negara patut dikritisi. Bisa saja independen dari negara. Tapi apa bisa independen dari intervensi perusahaan obat dan alkes? Jika nanti ada kongkalikong antara Kolegium dengan perusahaan dan oligarki siapa yang mengoreksi?

Kalau Kolegium menjadi bagian dari negara, setidaknya ada banyak pihak yang berwenang melakukan koreksi dan pengawasan. Ada DPR, BPK, aparat penegak hukum dan lain sebagainya. 

Timbul kecurigaan, jangan-jangan segelintir pihak yang mendesak agar Kolegium independen tanpa peran negara hanya ingin mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Hal lainnya, ada kepentingan mereka yang terganggu terkait pendirian pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan.

Padahal, tujuan dari program ini untuk percepatan dan pemerataan dokter spesialis di daerah. Pendidikan di rumah sakit dikelola langsung oleh Kemenkes. Peserta didiknya diambil khusus dari daerah dan diberikan beasiswa dengan perjanjian wajib kembali ke daerah asal. Pesertanya bukan orang dari kota di Jawa dan Bali, dan bukan anak orang kaya.

Sebelum UU Kesehatan, pendidikan dokter spesialis hanya bertumpu pada universitas. Bangku kuliahnya pun sangat terbatas, biayanya mahal. Dengan dibuka pendidikan berbasis rumah sakit, maka diharapkan ada kenaikan jumlah bangku kuliah dan afirmasi untuk putra putri daerah.

Baca juga : Trubus Rahadiansyah: Raperda KTR Di Jakarta Belum Diperlukan Kok

Program pendidikan spesialis berbasis rumah sakit berjalan bersama-sama dengan pendidikan berbasis universitas. Tidak ada persaingan diantara dua jalur tersebut karena yang berbasis rumah sakit tidak membuka jalur penerimaan mandiri alias jalur untuk anak-anak orang kaya. Jadi jalur rumah sakit tidak menganggu pasar jalur universitas. Di negara-negara maju, program jalur rumah sakit sudah umum, dan sudah lama diberlakukan.

Namun, rupanya ada yang terganggu dengan program ini. Yaitu, mereka yang selama ini memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk mengontrol calon dokter-dokter spesialis. Mereka takut hilang kuasa dan gengsi. Mungkin seperti bisnis multi-level marketing. Seperti takut kehilangan downstream.

Segelintir pihak ini juga menginginkan Menkes diganti. Menkes dituduh atau di-framing negatif terkait profesi dokter, dan membuka aib perundungan yang terjadi di pendidikan kedokteran. Mereka mengatakan perundungan yang terjadi adalah hal kecil yang dibesar-besarkan untuk mendiskreditkan dokter.

Faktanya memang banyak perundungan terjadi di pendidikan kedokteran spesialis dan perlu pembenahan mendasar oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi. Universitas adalah ranah mereka, dan peserta didik selama ini dititipkan di rumah sakit Kemenkes.

Alih-alih membenahi diri, beberapa universitas kadang tidak mau mengakui dan menganggap perundungan merupakan hal biasa dan menjadi bagian dari pendidikan mental.

Menkes tidak menjelekkan universitas. Untuk menciptakan dokter yang memiliki empati, wajib hukumnya universitas mendidik dengan humanisme. Bukan dengan kekerasan dan perundungan. Bagaimana mungkin dokter yang ditempa dengan perundungan akan memiliki empati kepada pasiennya?

Baca juga : Menkop Dan Sri Sultan Kasih Sleman Jempol

Kita beruntung memiliki Menkes yang bukan dari dunia kedokteran sehingga berani membuka masalah perundungan ini ke publik dan bertekad membenahi. Coba lihat ke belakang, apakah pernah ada Menkes yang berasal dari kalangan dokter pernah membuka masalah perundungan dan berani membenahi persoalan yang sudah mengakar sejak puluhan tahun itu?

Desakan dan tuntutan dari segelintir pihak, sepertinya hanya masalah kepentingan yang terganggu. Alih-alih memperbaiki diri, mereformasi institusi serta melayani pasien, mereka malah mencoba bermain politik untuk mengamankan kepentingannya. Pasca diundangkannya UU Kesehatan, mereka rupanya belum bisa “move on”.

Dunia kesehatan tidak hanya berkutat pada satu urusan kedokteran saja. Tenaga kesehatan lain seperti dokter gigi, perawat, bidan dan lain sebagainya beserta organisasi profesinya, justru turut mendukung reformasi tata kelola kesehatan karena adanya keinginan kuat untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat, bukan mempertahankan kepentingan elit-elitnya.

Dr Hendry Hartono, MKes-Est
Pemerhati Reformasi Pendidikan Kesehatan Indonesia

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.