Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Mahasiswa, Belajarlah Dari Hatta!

Selasa, 6 Juli 2021 20:08 WIB
Muhammad Farid. (Foto: ist)
Muhammad Farid. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kritik mahasiswa terhadap presiden yang viral belakangan ini memicu diskusi hangat jagad maya. Ragam respon bermunculan, sebagian pro terhadap kritik itu, namun tidak sedikit juga yang kontra.

Mereka yang kontra menganggap kritik mahasiswa itu harus lebih beradab, dan menyarankan agar gerakan mahasiswa sepatutnya lebih kepada gerakan politik moral dan bukan politik praktis. 

Pertanyaannya kemudian, apakah kritik terhadap pemerintah itu tercela? Apakah kritik harus beretika? Apakah gerakan protes mahasiswa terhadap suatu kebijakan termasuk gerakan tak berbudaya dan tak terpelajar?

Baca juga : Citilink Vaksinasi Penumpang Yang Berangkat Dari Soekarno-Hatta

Beramunisi Buku, Bersenjata Pena

Cobalah sejenak menengok ke belakang. Kepada sejarah tokoh bangsa kita, Mohammad Hatta muda, sang proklamator. Dalam narasi historis, kita tahu bahwa antara buku dan Bung Hatta hampir sulit dipisahkan. Di penjara dia menulis buku. Di pengasingan Digul dan Banda Naira dia bawa serta 16 peti buku. Karena bagi Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku aku bebas”.

Intelektualisme Hatta sulit ditandingi pada zamannya. Dan buku menjadi peluru pikirannya. Sejak usia remaja dia terbiasa membaca dan menulis. Sederat nama filsuf seperti, Heinrich Heine, Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky pernah menjadi rujukan artikel Hatta muda. Artikel pertama itu ditulis saat dirinya berusia 18 tahun! Usia yang sangat muda bahkan belum lagi mahasiswa.

Baca juga : AP II Buka Vaksinasi Gratis Di Bandara Soekarno Hatta

Tulisan itu dimuat di majalah Jong Sumatera, sebuah "otobiografis" yang mengisahkan tokoh khayali seorang janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Pada bait-bait awal, Hatta menulis; "Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya."

Tapi, jangan terburu-buru menilai artikel Hatta itu sebagai roman picisan layaknya drama korea. Hindania adalah personifikasi "Indonesia". Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anak-anaku".

Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di "negeri maghrib", yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.

Baca juga : BMKG Ramal Sejumlah Daerah Diguyur Hujan Lebat

Artikel “Hindania” itu, menurut saya, adalah satire terbaik di tahun 1920. Saat itu, pemerintah Belanda memang sedang gencar menerapkan kebijakan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia Pertama. Jerman dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars. 

Artikel pendek itu tidak hanya menggambarkan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra, tapi juga menunjukkan keberanian Hatta untuk “melawan” kolonialisme, dengan hanya beramunisikan buku dan bersenjatakan pena.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.