Dewan Pers

Dark/Light Mode

Majelis Rakyat Papua Tarik Permohonan Sengketa Melawan Presiden

Rabu, 21 Juli 2021 18:49 WIB
Kuasa pemohon Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Rita Kolibonso saat sidang perdana Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/7). (Foto: Youtube MK RI)
Kuasa pemohon Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Rita Kolibonso saat sidang perdana Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/7). (Foto: Youtube MK RI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menarik kembali permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) melawan Presiden Republik Indonesia. Penarikan permohonan SKLN tersebut dilakukan pada sidang perdana Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/7).

Sebelumnya, MRP dan MRPB mempermasalahkan usulan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Untuk diketahui, UU 21 Tahun 2001 tersebut telah diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan telah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021 lalu.

Mengawali persidangan, Ketua Panel Aswanto menyampaikan bahwa terdapat surat penarikan kembali permohonan SKLN dari para Pemohon yang diterima MK pada 19 Juli 2021.

Berita Terkait : Nggak Tiba-tiba, Perubahan Statuta UI Sudah Sesuai Mekanisme

Salah seorang kuasa pemohon Rita Kolibonso membacakan penegasan penarikan permohonan perkara SKLN. "Alasan penarikan permohonan perkara SKLN ini karena para pemohon merasa permohonan yang diajukan sudah tidak relevan lagi untuk diperiksa dan diputus oleh MK," kata Rita Kolibonso dalam sidang yang disiarkan langsung di channel YouTube resmi Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (21/7).

Sebelumnya, para pemohon mendalilkan, terkait dengan inisiatif pemekaran wilayah dan inisiatif dan atau pengusulan perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua merupakan kewenangan yang dimilki oleh MRP, bukan pemerintah pusat. Sesuai dengan hak kewenangan yang diberikan oleh Pasal 77 UU a quo, terkait usul perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001, para pemohon telah melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Otsus Papua yang telah dilaksanakan selama 20 (dua puluh) tahun dengan melibatkan seluruh komponen orang asli Papua.

Bahwa susunan kedudukan, keanggotaan dan wewenang para pemohon diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 21 Tahun 2001, dengan demikian para pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Menurut para Pemohon, dikeluarkannya Surat Presiden Nomor R-47/Pres/12/2020 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPR perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua dengan melakukan revisi terbatas terhadap Pasal 1 huruf (a), Pasal 34 dan Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001, sama sekali belum melalui proses usulan dari rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP.

Berita Terkait : Cuaca Jakarta Hari Ini: Sebagian Berawan, Sebagian Hujan

RUU tersebut, menurut para pemohon, bukanlah aspirasi rakyat Papua yang disampaikan melalui MRP dan DPRP melainkan usulan pemerintah secara sepihak tanpa mendengarkan aspirasi Rakyat Provinsi Papua melalui Rapat Dengar Pendapat. Para Pemohon  berpendirian, RUU tersebut bertentangan dengan semangat undang-undang Otsus yang memberikan kewenangan khusus kepada rakyat Provinsi Papua untuk mengevaluasi dan mengusulkan perubahan UU Otsus secara menyeluruh dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan demi menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokratisasi dan kesejahteraan rakyat Papua.

Dalam persidangan tersebut, Aswanto juga meminta maaf atas penundaan sidang serta menjelaskan alasan penundaan persidangan SKLN yang semula dijadwalkan pada 5 Juli 2021 menjadi 21 Juli 2021. Pertama, karena alasan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jakarta maupun daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Kedua, ada kondisi objektif yang tidak memungkinkan menggelar persidangan di MK. "Karena ada salah seorang Hakim Konstitusi yang dinyatakan positif Covid-19 dan sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit. Kemudian Sekretaris Jenderal MK juga dinyatakan positif Covid-19. Tapi alhamdulillah sekarang sudah aktif kembali berkantor. Selain itu ada 20 staf Kepaniteraan MK yang dinyatakan positif Covid-19," jelas Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. [FAQ]