Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
17 Tahun UU PKDRT
Duh, Komnas Perempuan Sebut Kasus KDRT Tetap Tinggi
Selasa, 28 September 2021 20:33 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Sejak disahkan 17 tahun yang lalu, Undang-Undang no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) belum sepenuhnya efektif. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, hingga saat ini korban KDRT masih kesulitan mengakses keadilan dan pemulihan serta banyaknya hambatan dalam upaya penegakan UU PKDRT.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menuturkan, UU PKDRT merupakan terobosan hukum yang memberi perlindungan terhadap perempuan, anak perempuan, pekerja rumah tangga, relasi lainnya dalam perkawinan/kekerabatan dan siapa saja dalam lingkup rumah tangga yang sebelumnya dianggap tidak dapat dicampuri oleh negara.
Secara tegas UU PKDRT menyatakan semua bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual dan penelantaran yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga, atau disebut ranah privat, sebagai sebuah tindak pidana. Undang-undang ini juga menjangkau kekerasan seksual oleh suami terhadap istri.
Baca juga : Kasus Harian Nyaris 50 Ribu, Kasus Kematian Cetak Angka Tertinggi
Namun selama 17 tahun terakhir, Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat ada 544.452 kasus KDRT yang terjadi di Indonesia.
Kasus tersebut yang meliputi Kekerasan terhadap Istri (KTI), Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) khususnya inses, Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kekerasan Relasi Personal lainnya, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) dan Kekerasan Mantan Suami (KMP).
“Dari jenis-jenis KDRT, KTI selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT dan selalu berada di atas angka 70 persen,” ujar Siti Aminah dalam siaran persnya, Selasa (28/9).
Sedangkan yang paling minim dilaporkan adalah kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini juga tidak dapat lepas dari penyempitan makna bahwa KDRT adalah kekerasan terhadap istri.
Baca juga : 56 Tahun, Telkom Komitmen Wujudkan Kedaulatan Digital
Komnas Perempuan mencatat dampak KDRT telah menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban, menjadi disabilitas, keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan dan hilangnya rasa percaya diri.
“Atas dampak tersebut korban yang membutuhkan pemulihan komprehensif, yang sebetulnya telah diatur dalam UU PKDRT,” sebutnya.
Namun, pelaksanaan UU PKDRT sendiri masih menemui sejumlah hambatan yang memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan. Mulai dari banyaknya korban yang mencabut laporan/pengaduan, penafsiran terhadap Pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT, khususnya perkawinan tidak tercatat, kurangnya alat bukti, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban dan hak asasi perempuan, hingga budaya yang masih memandang kasus KDRT sebagai aib dan tabu bila diungkap ke luar..
Baca juga : Jaga Tren Positif Penurunan Kasus, DKI Mantap Perpanjang PPKM Mulai Besok
“Pola penyelesaian KDRT dengan dilaporkan kepada Kepolisian, kemudian dicabut dengan menggunakan mekanisme restorative justice dan memilih perceraian menjadikan korban tidak pulih dan pelaku tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Siti Aminah.
Sementara pengadilan agama/negeri yang memeriksa perceraian tidak memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan terkait KDRT yang menjadi alasan perceraian. [oSP]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya