Dark/Light Mode

HNW: Libatkan Semua Jenis Pesantren Dalam Majelis Masyayikh

Jumat, 31 Desember 2021 20:59 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: Ist)
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama (Menag) setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) yang juga pernah dikritisi publik.

Sikap kritis HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid tersebut karena belum terpenuhinya asas representatif yang dapat mewakili 3 jenis pesantren yang diakui Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Refresensi yang mewakili 3 jenis pesantren, itu menurut HNW  sangat penting, karena pembetukan anggota Majelis Masyayikh ini adalah yang pertama, dan akan dirujuk serta menjadi pola pembentukan Majelis Masyayikh berikutnya.

Karena itu, mestinya Menag menghadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar dan adil. Yakni dengan mengakomodasi secara proporsional representasi dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren. Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern) dan Pesantren yang memadukan Ilmu Umum dan Agama.

"Saya mengapresiasi dibentuknya Majlis Masyaikh, serta penetapan para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, saya mendapatkan masalah yang juga merupakan aspirasi komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena komposisi Majelis Masyayikh yang terpilih, belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren," kata HNW dalam keterangannya, Jumat (31/12).

Baca juga : 3 Proyek Kelistrikan Tegangan Tinggi PLN Beroperasi, Banten Siap Sambut Investasi

Kata HNW, baru dua jenis yang diwakili, dari tiga jenis yang ada. Yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali.

"Mestinya Majlis Masyaikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal Aqdi,  merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis pesantren yang diakui oleh Undang-undang Pesantren," ujarnya.

UU Pesantren kata HNW, mengklasifikasikan adanya tiga jenis pesantren. Yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning, pesantren berbentuk dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; dan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

Ini menunjukan bahwa UU Pesantren dibuat dan disepakati berlaku untuk semua kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja. Juga sesuai realita keragaman Pesantren dan perkembangannya, sejak Indonesia belum merdeka hingga UU Pesantren disahkan pada tahun 2019.

"Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga pesantren dengan pola muallimin itu," tambahnya.

Baca juga : Siti Fauziah: Peran Perempuan Penting Dalam Pembangunan Nasional

Menurut Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur harus adanya keterwakilan tersebut. Tetapi di negara Pancasila yang mempraktekkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk.

Hal ini perlu dikedepankan sebagai konsekuensi logis dan kelaziman aturan hukum dari adanya klasifikasi tiga jenis pendidikan Islam. Apalagi, Majelis Masyaikh diberi kewenangan oleh UU dan peraturan pelaksananya untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar dan penting terkait dengan pesantren.

Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki tugas menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren, memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum pesantren, merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren dan merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan.

Selain itu, melakukan penilaian serta  evaluasi dan pemenuhan mutu. Serta memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah santri yang dikeluarkan oleh pesantren. Pasal ini niscaya menjadi pasal yang dirujuk sebagai rincian atas pasal 20 ayat 2 yang membatasi tapi tidak singkron dengan 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

"Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting dan mencakup semua jenis pesantren tersebut. Maka sudah sewajarnya bila anggota majelis masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam Undang-undang Pesantren," tegasnya.

Baca juga : HNW Minta Kemensos Penuhi Hak Dan Bantuan Disabilitas

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengkoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh agar merepresentasikan 3 jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa Majelis Masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang. Dan sekarang baru ditunjuk 9 orang saja, yang kemungkinan baru mewakili 2 dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU. 

"Sewajarnya bila Menag dan AHWA melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyaikh hingga dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren," pungkas HNW. [TIF]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.