Dark/Light Mode

Syarief Hasan Harap Kendali Wilayah Udara Kepri Penuh Milik RI

Minggu, 30 Januari 2022 22:07 WIB
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan. (Foto: Istimewa)
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyoroti perjanjian mengenai penataan Flight Information Region (FIR) Indonesia dan Singapura yang telah diteken oleh Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1).

Menurut Syarief, perjanjian ini bukan saja merugikan Indonesia karena Singapura punya kendali atas ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau pada ketinggian 0 hingga 37 ribu kaki. Namun, kita tidak berdaulat atas wilayah kita sendiri.

Perjanjian FIR justru menunjukkan titik lemah diplomasi Indonesia. Jika Indonesia hanya mendapatkan hak kendali udara pada ketinggian di atas 37 ribu kaki, hal ini jelas-jelas menunjukkan kedaulatan udara kita dimiliki oleh negara lain.

Baca juga : Senayan: Bantuan Alsintan Kementan Jawab Kebutuhan Petani

"Indonesia tidak mendapat keuntungan ekonomi yang sepadan dengan perjanjian yang ditelah ditandatangani ini. Bahkan, isunya bukan saja soal kemanfaatan ekonomi, tetapi kedaulatan wilayah NKRI," ujar Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini dalam keterangannya, Minggu (30/1).

Lebih lanjut, politisi senior Partai Demokrat ini menekankan bahwa kedaulatan negara adalah hal yang strategis, sensitif, dan tidak dapat dipertukarkan dengan keperluan keamanan operasional dan teknis. Ini dua hal yang berbeda.

Terlebih Indonesia telah memiliki kesiapan infrastruktur, SDM, dan pendanaan untuk mengelola ruang udaranya. Apalagi kendali penuh Indonesia atas ruang udaranya ini adalah amanat UU yang mestinya dijalankan secara konsekuen.

Baca juga : Senayan Harap Kemenag Upayakan Pemberangkatan Haji Kuota Penuh

Padahal Pasal 458 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sudah jelas mengatur kendali udara sepenuhnya di tangan Indonesia paling lambat 15 tahun dari pengesahan UU ini pada tahun 2009.

"Jadi seharusnya pada 2024 kendali wilayah udara di atas Kepulauan Riau sudah sepenuhnya milik Indonesia. Jika dengan perjanjian FIR ini Singapura masih juga pegang kendali atas wilayah udara yang strategis, maka tidak ada kedaulatan di situ," sesal Syarief.

Syarief juga mempertanyakan definisi berdaulat versi pemerintah. Apakah dengan adanya perjanjian FIR ini pemerintah sudah merasa merebut kembali kedaulatan wilayah kita? Apakah dengan kendali ruang udara yang masih dipegang Singapura tidak berarti mengacak kedaulatan kita? Atau bahkan, apakah pemerintah tidak soal untuk berbagi kedaulatan NKRI dengan negara lain?

Baca juga : Gelar Anev, Kapolri Intruksikan Jajarannya: Temui Warga, Jaga Kepercayaan Publik

Jika pemerintah merasa perjanjian FIR ini tidak melanggar kedaulatan wilayah NKRI, maka kita perlu mengoreksi definisi berdaulat dalam konteks pergaulan internasional.

"Ruang udara kita dikendalikan negara lain, yang bahkan dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan strategis negara tersebut, dan kita sama sekali mempersoalkannya. Saya termasuk yang tidak mengerti dengan alur logika yang dipergunakan pemerintah ketika menekan perjanjian FIR ini," kritik Syarief. [TIF]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.