Dark/Light Mode

Uang Kuliah Kedokteran Sebaiknya Lebih Murah

Sabtu, 29 Juni 2024 07:15 WIB
Anggota Komisi X DPR Nuroji
Anggota Komisi X DPR Nuroji

RM.id  Rakyat Merdeka - Senayan menyoroti tingginya biaya pendidikan di Fakultas Kedokteran. Pemerintah diminta mengevaluasi hal ini.

Anggota Komisi X DPR Nuroji mengatakan, banyak kampus saat ini masih mene­tapkan standar Uang Kuliah Tunggal (UKT) sangat tinggi bagi mahasiswanya. “Padahal, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran disusun bertujuan agar pendidikan kedokteran itu menjadi murah. Dengan begitu, biaya kesehatan kita juga men­jadi murah,” ucapnya, belum lama ini.

Politisi Fraksi Gerindra ini mengatakan, ketika Undang-Undang Kedokteran ini disusun ditemukan sejumlah praktik yang membuat pendidikan ke­dokteran mahal. Hingga akhirnya disepakati, standar biaya dan kurikulum pendidikan kedok­teran ini diserahkan ke Direk­torat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.

Tetapi yang terjadi, sambung dia, biaya pendidikan kedokteran bukannya tambah terjang­kau malah semakin tinggi. Bah­kan bisa setara dengan satu unit mobil Toyota Alphard. “Ini yang perlu dicari akar masalahnya,” tambahnya.

Terpisah, Ketua Konsil Kedokteran Dunia (International Asso­ciation of Medical Regulatory Authorities/IAMRA) Taruna Ikrar memaparkan penyebab biaya pendidikan kedokteran tinggi. Karena, perguruan tinggi yang membuka program studi kedokteran ini masih sangat ter­batas. Tercatat, baru 93 kampus yang memiliki Fakultas Kedok­teran di Indonesia.

Baca juga : Restrukturisasi Kredit Jaga Kesehatan Bank

“Fakultas Kedokteran ini kan sangat favorit. Kenapa? Pertama, dokter lulusannya sudah pasti langsung dapat kerja. Kedua, jumlah dokter kita masih sangat kurang,” kata Taruna.

Dia menjelaskan, klasifikasi dokter ini terbagi dua, dokter umum dan dokter spesialis. Dok­ter umum di Indonesia ini baru sekitar 150 ribu orang, jebolan dari 93 Fakultas Kedokteran. Sementara berdasarkan jumlah jumlah penduduk Indonesia 280 juta, berarti rata-rata satu dokter itu melayani 2 ribu pasien.

Jika mengacu rasio yang dirilis Badan Kesehatan Du­nia (WHO), lanjutnya, standar minimal dokter dan populasi masyarakat yang dilayani di suatu negara adalah 0.1 persen, atau seorang dokter melayani per seribu penduduk. Artinya, dibutuhkan minimal 10 dokter untuk melayani setiap 10.000 penduduk.

“Penduduk kita kan 280 juta, dibagi 150 ribu, berarti rata-rata satu dokter itu melayani 2 ribu pasien. Jadi kita baru berkisar sekitar per 10.000 pen­duduk itu, kita cuma di angka 0,2 persen. Berarti kita masih kekurangan 0,8 persen persen,” sebutnya.

Sementara jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2030 diprediksi mencapai 300 juta jiwa. Dengan mengacu rasio ketercukupan dokter dari WHO, maka diperkirakan Indonesia masih kekurangan sekitar 160 ribu dokter. “Ini alasan pertama kenapa Fakultas Kedokteran itu banyak peminatnya. Belum lagi nanti Fakultas Kedokteran itu kan bisa mendidik pendidikan dokter spesialis,” sebutnya.

Baca juga : Hore, Tarif Listrik Nggak Naik

Masalah kedua, dokter spesialis di Indonesia ini baru berjumlah 40 ribu. Ini pun harus dibagi berdasarkan jenis spesialisnya seperti jantung, telinga-hidung-tenggorokan (THT) yang total keseluruhan 47 spesialisasi, termasuk dokter gigi. Ini berarti 1 jenis spesialis itu rata-rata cuma seribu orang.

“Dari 1.000 orang ini, misalnya dokter spesialis jantung, melayani 280 juta penduduk. Artinya, 1 dokter jantung me­layani 283 ribu. Ini tidak masuk akal. Belum lagi ahli syaraf, dan lain sebagainya. Jadi, kesimpulannya kita krisis dokter spe­sialis,” tegasnya.

Masalah ketiga, jumlah dok­ter ini semuanya berkumpul di kota-kota besar. Ini berdampak pada pelayanan kesehatan, juga biaya pendidikan kedokteran. “Hukum ekonomi, semakin banyak peminat, harga semakin naik,” katanya.

Berdasarkan aturan, lanjutnya, Fakultas Kedokteran Tipe C me­nampung mahasiswa maksimal 50 orang. Tipe B, bisa sampai 150 mahasiswa. Sementara Tipe A, bisa sampai 3 ratus maha­siswa. Dengan sistem kuota ini, maka jatah untuk masuk fakultas kedokteran semakin kecil. Ini pula yaang membuat kuliah kedokteran di masing-masing kampus berbeda.

“Kebutuhan sangat besar, sementara jumlah fakultas ke­dokteran kecil. Biaya pendidikan jadi mahal, hanya mereka yang berduit bisa kuliah. Sementara banyak anak bangsa ini ingin menjadi dokter,” ungkapnya.

Baca juga : PAM Jaya Tekor Rp 2,5 T

Kondisi ini, sambung dia, diperparah dengan adanya regu­lasi tentang Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT0BH). Kampus menaikkan biaya pen­didikan setinggi-tingginya agar bisa memperoleh penghasilan sebesar-besarnya. Padahal, tu­juan utama PT-BH ini adalah mewujudkan kemandirian dan indepensi kampus.

“Nah di situ masalahnya. Jadi kalau dikatakan pendidikan mahasiswa kedokteran itu bisa seharga Alphard, ya bisa saja,” katanya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.