Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS

RM.id Rakyat Merdeka - Reformasi partai politik (parpol) di Indonesia mengalami stagnansi alias mandeg. Hal itu bisa dilihat dari kegagalan partai menerjemahkan undang-undang ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
“Misalnya, terselenggaranya Pemilu secara langsung menumbuhkan politik uang yang mengakar hingga di tataran lokal,” ujar Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S) Aisah Putri Budiarti dalam diskusi bertajuk “Mengawal Reformasi Partai Politik: Peluang dan Tantangan,” diskusi Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik, Seri ke-24, di Jakarta, kemarin.
Aisah yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu juga menilai, semangat reformasi partai politik yang diformulasikan melalui undang-undang tidak bisa dilakukan parpol itu sendiri. “Parpol masih bersifat pragmatis dan banyak masalah internal bahkan eksternal,” ucapnya.
Berita Terkait : Kemenpora Wanti-wanti Pordasi Kasus All England Tak Terulang
Selain itu, personalisasi partai politik menjadi masalah serius belakangan ini. Hal itu terjadi karena urusan personal di dalam partai politik. Konflik yang timbul karena kentalnya personalisasi partai yang paling baru terjadi pada Partai Demokrat. Sebelumnya, dialami juga oleh Golkar, PAN dan PPP.
Namun, bagi Gerindra dan PDIP, personalisasi parpol yang kuat dan justru membawa keuntungan dalam konteks soliditas partai politik. Namun, hanya dalam jangka pendek. Sebab, ketika figur sentral tersebut mundur dari kancah politik, dan tidak ada penggantinya, maka keretakan di internal tak bisa dihindari.
“Hal tersebut sudah terbukti dari kasus yang dialami Partai Demokrat dengan konflik terkait AHY belakangan ini,” pungkasnya.
Berita Terkait : Tangani Konflik Sosial, Kemendagri Dorong Sinergi Semua Lembaga
Analisa ini direspons Direktur Eksekutif Lingkar Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan. Menurutnya, kondisi parpol saat ini diperparah dengan asumsi, partai tidak bisa menjalankan peranannya sebagai jembatan antara masyarakat dan negara. “Justru, partai politik semakin dekat dalam kepentingan negara,” jelas Djayadi.
Selain personalisasi, lanjutnya, kuatnya oligarki dan lemahnya transparansi partai politik menjadi permasalahan yang memperparah melemahnya hubungan antara partai politik dengan masyarakat.
Menilik survei LSI pada Januari 2021, tingkat identifikasi partai hanya berada di tingkat 12 persen. Artinya, partai-partai yang ada sekarang tidak mampu menarik masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya. Padahal, itu sangat penting.
Berita Terkait : Elang Jawa Rombak Pasukan
Lebih tajam lagi, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengangkat pemikiran almarhum Daniel Dhakidae, tokoh pemikir bangsa yang meninggal pada 6 April 2021. Diskusi ini, menurutnya berhubungan dengan pemikiran Daniel Dhakidae.
Diceritakan, Dhaniel Dhakidae sempat menyebut kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sebagai “putar balik ke arah otoritarianisme” dan tertuang dalam buku Outlook Demokrasi. Faktanya, partai politik merupakan institusi politik yang paling tidak dipercaya publik.
“Hal tersebut menjadi ironi tersendiri karena dengan tingkat kepercayaan yang rendah tersebut, parpol memiliki peranan dalam membentuk kebijakan di negara dan terlibat dalam konflik kepentingan kalangan elite pemerintah,” ujar Wijayanto. [BSH/REN]
Tags :
Berita Lainnya