Dark/Light Mode

Dorong Rekonsiliasi Nasional

Pengamat Minta Anies Dan Ganjar Belajar Kepada Prabowo

Sabtu, 2 Maret 2024 17:29 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan, para kandidat peserta Pilpres 2024 yang kalah versi quick count berbagai lembaga survei dan data sementara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU), harus menunjukkan sikap kedewasaannya dalam berdemokrasi. Harus siap menang dan kalah.

Menurut Surokim, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo perlu belajar kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membangun budaya politik yang santun dan saling menghormati.

Meskipun rivalitas Pilpres antara Jokowi dan Prabowo sangat keras pada 2014 dan 2019, tapi kedua tokoh tersebut mampu memberikan contoh berpolitik dengan baik.

Ketika berkompetisi, dilakukan dengan serius. Namun, saat sudah usai, keduanya bersatu untuk kemajuan bangsa.

“Dibutuhkan kedewasaan diperlukan sikap yang lebih negarawan apalagi kalau kita mengacu bagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya seperti Pak Prabowo itu juga sempat kalah berkali-kali di dalam pilpres dan mestinya itu juga bisa dijadikan sebagai contoh,” kata Surokim, Sabtu (2/3/2024).

Dikatakan Surokim, pemenang Pilpres 2024 tinggal menunggu pengumuman secara formal oleh KPU.

Baca juga : Ini Respons Jokowi, Soal Pro Kontra Kenaikan Pangkat Prabowo

Sebab, berdasarkan hasil quick count dan real count sementara KPU menunjukkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul telak dari dua pesaingnya.

Jarak perolehan suara yang cukup jauh antara Prabowo-Gibran dan dua kompetitornya sudah mustahil untuk dikejar.

Oleh karena itu, Surokim mendorong pihak yang kalah untuk mengakui kekalahannya dan segera melakukan rekonsiliasi nasional.

“Semua kan masih beralasan untuk menunggu real count, tapi quick count itu kan diselenggarakan oleh lembaga yang tidak hanya satu dua lembaga tetapi juga oleh banyak lembaga yang mempunyai reputasi selama ini dalam menghitung pemilu,” tutur Surokim.

“Jarak yang tersisa antara dua paslon juga cukup jauh, jadi agak sulit menurut saya mungkin kalau jaraknya tipis gitu tidak ada masalah ini jaraknya terlalu jauh, jadi harus ada kesadaran memang tidak mudah untuk menerima kekalahan,” imbuhnya.

Menurutnya, energi yang ada dari paslon yang kalah lebih baik digunakan untuk menghadapi pemilu berikutnya, ketimbang dihambur-hamburkan untuk melakukan tuduhan atau berbagai macam alasan atas kekalahannya.

Baca juga : Pemerintah Jor-joran Jinakkan Harga Beras

“Saya pikir posisi menjadi oposisi itu juga tidak kalah terhormatnya, akan lebih bijak kalau disiapkan untuk menjadi oposisi atau menjalankan fungsi oposisi terhadap pemerintah terpilih misalnya,” paparnya.

Surokim menilai, upaya kubu rival Prabowo melemparkan wacana kecurangan pemilu terhadap penyelenggara pemilu dengan menggulirkan hak angket menunjukkan sikap yang tidak mau menerima kekalahan.

Jika hal itu diteruskan, dia menilai, sama saja melawan kehendak atau logika mayoritas masyarakat yang sudah menggunakan hak pilihnya.

“Melihat jarak yang lebar seperti itu saya kira cukup sulit untuk membangun narasi kecurangan dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM), rasa-rasanya cukup sulit terlalu lebar jaraknya. Artinya harus melawan logika publik pemilih yang mayoritas,” tegasnya.

“Tapi sepanjang itu tidak TSM, saya kira publik masih bisa memahami dan kalaupun toh yang sekarang sedang dibangun narasi kecurangan seperti itu saya kira harus mengingat logika publik juga bahwa pemilu ini melibatkan banyak pemilih,” sambung Surokim. 

Dijelaskan Surokim, rekonsiliasi nasional harus segera dilakukan oleh para elit agar masyarakat di bawah mengikutinya, hal ini penting agar tidak terjadi kegaduhan dan munculnya kembali polarisasi.

Baca juga : Golkar Buka Pintu 01 Dan 03 Gabung Ke Prabowo-Gibran

Rekonsiliasi itu dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi politik secara intens demi mengurangi gesekan serta tensi politik lebih mereda.

“Kita punya sejarah panjang terkait dengan rekonsiliasi dan polarisasi, di pendukung juga nggak bisa dinisbikan, jadi bisa dimulai dari rekonsiliasi di tingkat elit dulu baru kemudian nanti bisa bergeser ke bawah,” paparnya.

Jika mengandalkan rekonsiliasi yang dimulai dari bawah, Suriokim menilai, akan cukup sulit. Lebih efektif dilakukan melalui pertemuan-pertemuan elit yang lebih intens.

“Saya kira akan jauh lebih elegan minimal bisa menjadi contoh dan meredam munculnya hoaks-hoaks yang terus menerus cukup intens mengganggu proses demokrasi,” tandasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.