Dark/Light Mode

PTUN Kabulkan Gugatan Fadel, Pakar Hukum Ingatkan Hal Ini

Rabu, 10 Mei 2023 10:22 WIB
Fadel Muhammad (Foto: Ist)
Fadel Muhammad (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengingatkan bahaya jika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengadili perkara hasil sidang paripurna DPD RI.

Jika PTUN mengadili perkara seperti ini, menurutnya, maka akan muncul fenomena yuristokrasi atau pemerintahan oleh hakim.

Menurut Refly Harun, pengadilan tata usaha negara bersifat individual, konkret dan final. Sifat individual terkait dengan orang tertentu, objek tertentu yang mengeluarkan keputusan.

Dalam kasus penggantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, kata Refly Harun, Surat Keputusan DPD RI tentang penggantian Fadel dengan Tamsil, bukanlah keputusan yang mandiri. DPD RI mengeluarkan SK tersebut berdasar sidang paripurna DPD RI.

“Jadi bukan putusan mandiri (Ketua DPD RI). Bukan subjektifitas Ketua DPD tetapi hasil paripurna DPD, sehingga keputusan semua anggota DPD,” ujar Refly Harun, Rabu (10/5).

Baca juga : WHO Umumkan Covid-19 Bukan Lagi Kedaruratan Kesehatan Global, Prof Tjandra Ingatkan 5 Hal Ini

Menurut Refly Harun, keputusan lembaga politik tidak bisa di PTUN-kan. Kalaupun bisa dipersoalkan maka putusan lembaga politik maka dibawa ke MK.

“Itu pun harus jelas judulnya, misalnya pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara, apakah MPR berwenang menyetop kewenangan DPD,” ungkap pakar tata negara ini.

Keputusan DPD tentang penggantian Wakil Ketua MPR dari kelompok DPD, menurut Refly Harun, adalah keputusan tata negara bukan administrasi negara.

"Keputusan tata negara tidak boleh diuji di pengadilan tata usaha negara atau pengadilan administrasi. Kalau seperti itu, nanti keputusan DPR/MPR pun bisa di PTUN-kan,” bebernya.

Jika PTUN bisa mengadili hal seperti ini, menurut Refly Harun, maka sangat berbahaya.

Baca juga : Pendaftaran Bacaleg Dibuka, DEEP Ingatkan Lima Hal Krusial

“Kita nanti mengenal Yuristokrasi, pemerintahan oleh hakim,” tandasnya.

Seharusnya, lanjut Refly Harun, hakim PTUN hanya berwenang untuk hal tata usaha negara. Keputusan DPR, MPR, DPD yang merupakan hasil sidang paripuna dan cerminan demokrasi, tidak boleh diputuskan PTUN.

Selain itu, lanjut Refly Harun, ketika ada pergantian usulan berdasar paripurna DPD, harusnya MPR menjalankannya. MPR harus melakukan pelantikan Tamsil Linrung menggantikan Fadel Muhammad. Pelantikan tidak boleh ditunda.

“Sekarang ada putusan (pengadilan) tingkat pertama yang belum inkracht. Kalau ada pihak yang masih melakukan banding maka seharusnya yang tetap menjadi Wakil Ketua MPR tetap Tamsil Linrung. Nanti kalau ada keputusan final yang sudah mengikat barulah diganti,” ungkapnya.

Terkait dengan pencabutan tanda tangan dua pimpinan DPD mencabut tanda tangan SK DPD Penggantian Wakil Ketua MPR, Refly Harun, mengatakan, justru kedua orang itu diduga melanggar kode etik.

Baca juga : Ini Cara Gunakan Gudang Lagu Prima MP3 Untuk Dengarkan Musik Favorit

Dijelaskannya, penandatangan hasil putusan paripurna adalah kewajiban, bukan hak.

“Pimpinan DPD harus meneruskan apa yang menjadi keputusan dari paripurna DPD,” ungkapnya.

Jika ada keputusan sidang paripurna dan pimpinan tidak mau menandatanganinya, lanjut Refly Harun, bukan berarti keputusan sidang paripurna tidak sah. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.