Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Jakarta Kampung

Kamis, 28 November 2019 05:45 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Kedengarannya seperti bercanda. Tapi sebenarnya serius. “Dibanding Shanghai dan Beijing,” kata Mendagri Tito Karnavian, “Jakarta kayak kampung”. Ini bukan berita baru. Bahkan, tahun 1969 ada film berjudul “Big Village”. Kampung besar.

Film yang disutradarai Usmar Ismail dan dibintangi Rachmat Hidayat ini, mengisahkan fenomena Jakarta yang secara fisik disebut kota besar, tetapi perilaku orang-orangnya tak mencerminkan kota besar. Ndeso.

Sejak film itu, gubernur datang silih berganti. Kotanya masih begitu-begitu saja. Setiap tahun, sepulang mudik, kita selalu disuguhi kabar razia KTP, larangan membawa saudara ke Jakarta dan sebagainya. Tapi itu tak ada artinya. Panas-panas tai ayam. Hanya sebulan dua bulan. Lalu kendor. Kembali seperti semula.

Baca juga : Uang Kopi Akan Hilang?

Kalau di Shanghai, kabarnya, ada sortir dan seleksi yang ketat dan konsisten. Pendatang tak boleh sembarangan menjadi warga kota. Misalnya, sebelum masuk Shanghai, mereka harus tinggal di kota-kota menengah terlebih dulu. Semacam adaptasi. Tak bisa main tembak langsung. Apalagi yang tak memiliki keahlian.

Secara umum, lompatan yang dilakukan Tiongkok, memang sangat cepat dan jauh dibanding Indonesia. Kota-kotanya juga demikian, karena ekonominya tumbuh gila-gilaan. Amerika saja kelabakan.

Yang menarik, Tito menghubungkannya dengan paradoks demokrasi. Negara demokrasi, kata Tito, mengalami stagnansi. Sementara negara non-demokrasi seperti China melakukan lompatan-lompatan besar dalam uru san ekonomi dan militer.

Baca juga : Hidup Sederhana dan Keteladanan

Apakah Tito sedang mengkritik proses pengambilan keputusan dan birokrasi di Indonesia yang ribet? Apakah Tito sedang mengkritik proses politik di Indonesia yang sangat politiking?

Di Jakarta misalnya, sudah lebih setahun, Gubernur Anies Baswedan menjomblo. Tak punya wagub. Jalan sendiri saja. Kenapa bisa begini? Hanya parpol yang tahu. Tentu saja, kita tidak ingin kembali ke era Orde Baru. Karena, di era Orde Baru yang otoritarian pun Jakarta tak bisa melompat sangat cepat.

Di negara otoriter, non-demokrasi, seperti China atau Vietnam misalnya, segalanya memang serba cepat. Kalau negara mau menggusur, langsung gusur saja. Dipindah ke rumah susun. Beres. Tak ada perlawanan.

Baca juga : Pelukan Itu...

Di Indonesia, baru ada kabar penggusuran, harga tanah sudah naik tinggi. Berapa banyak proyek pembangunan yang terhambat karena pembebasan lahan. Namun, persoalannya bukan hanya sekadar demokrasi atau bukan, tapi ke pemimpinannya.

Negara otoriter ada yang maju, ada juga yang kurang maju. Negara demokrasi juga demikian. Tidak ada sistem yang sempurna. Tinggal bagaimana melaksanakan sistem tersebut. Tergantung orangnya. Para pemimpinnya.

Jakarta misalnya, tak usah muluk-muluk. Sederhana saja: sekarang, putuskan siapa wagub pendamping Anies. Kalau bisa disepakati tahun ini, bagus. Karena, politisi pun harus bersikap layaknya orang kota besar. Politisi metropolitan. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.