Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Hartanya Rp 18 miliar, tapi dia harus mengeluarkan uang sampai Rp 65 miliar untuk memenangi pilkada kota atau kabupaten. Jelas besar pasak daripada tiang. Buntutnya berisiko: mengembalikan modal dengan cara korupsi.
Data Rp 65 miliar tersebut kembali diungkap Ketua KPK Firli Bahuri. Ini sebenarnya info lama. Mendagri Tito Karnavian, juga pernah mengungkap hal ini. Kata Tito, calon kepala daerah harus punya minimal Rp 30 miliar kalau mau maju.
Pramono Anung, pada 2013, juga pernah meneliti politik biaya tinggi ini. Terutama untuk calon anggota DPR. Nilainya, miliaran juga. Mahal. Bahkan ada yang belasan. Itu tahun 2013.
Penyakit biaya politik ini sudah diketahui hampir 20 tahun lalu. Sayangnya, tak pernah ada jalan vaksin dan obatnya. Tetap saja seperti itu. Heboh “uang perahu”, mahar politik, serangan fajar, money politics selalu saja mewarnai pilkada.
Di era Presiden SBY sempat ada rencana mengembalikan pilkada ke DPRD. Namun, UU itu dianulir oleh Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Perppu. Akhirnya kembali lagi ke Pilkada langsung. Sampai sekarang. Dengan persoalan yang nyaris sama. Juga tak pernah ada solusi konkret.
Mirisnya, politik uang yang terjadi di daerah yang belum maju, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah bisa terus menjerumuskan daerah tersebut.
Di daerah tersebut, masyarakat sangat membutuhkan money politics. Bahkan, ada yang memasang spanduk “Di sini siap menerima serangan fajar”. Terang-terangan.
Masalah akan timbul ketika terpilih kepala daerah yang sangat rajin mengembalikan modal. Buntutnya, korupsi. Termasuk memainkan dana APBD yang minim itu. Urusan kemajuan daerah jadi nomor sekian.
Baca juga : Prabowo Manula Saat Pilpres 2024
Akibatnya, daerah yang sudah miskin kian terjerembab dalam kubangan keterbelakangan. Semacam kemiskinan struktural. Untuk daerah.
Kapitalisme politik ini diperparah oleh hadirnya cukong. Sponsor, atau donatur yang membiayai si calon sebagai investasi ekonomi politik. Ditagih ketika si calon menjabat kepala daerah.
KPK, juga pemerintah menyebut fenomena ini, sangat besar: 82 persen pilkada dibiayai cukong. Ini luar biasa. Tapi, bangsa ini seolah tak bisa berbuat apa-apa.
Kondisi ini kian buruk ketika terjadi dinasti politik. Jabatan kepala daerah berpindah dari suami ke istri, atau bapak ke anak, adik keponakan, atau kerabat dekat.
Baca juga : KPK Dan Mobil Dinas
Jalan keluarnya bukan mengembalikan pilkada ke DPRD. Tapi bagaimana memperbaiki dan menyempurnkan pilkada langsung ini. Opsinya bisa banyak. Indonesia punya LIPI yang bisa meneliti soal ini.
Yang bisa dilakukan, salah satunya: mempermudah persyaratan. Misalnya, semua partai yang punya kursi di DPRD bisa mengajukan calon. Tak ada lagi oligarki parpol. Calon terbaik bisa dijaring. Uang perahu atau mahar politik diminimalisir. Tak perlu keluar uang sampai 65 miliar.
Kalau tidak, 20 tahun lagi masih seperti ini. Begitu-begitu saja. Padahal, kasarnya: bangsa ini bukanlah keledai.(*)
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.