BREAKING NEWS
 

Kurban dan Spirit Transformasi Kemanusiaan

Reporter & Editor :
UJANG SUNDA
Sabtu, 9 Juli 2022 22:07 WIB
Wakil Ketua Umum PP Hima Persis Rizal Faturohman Purnama (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Oleh: Rizal Faturohman Purnama

Setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Muslim dunia merayakan Hari Raya Idul Adha atau sering juga disebut Idul Kurban. Pelaksanaannya dengan cara menyembelih binatang ternak, baik kambing, domba, sapi, unta maupun kerbau. Kegiatan ini dilakukan selama empat hari, yakni tanggal 10-13 Dzulhijah atau tepatnya pada saat setelah Shalat Idul Adha dan Hari Tasyrik. Keempat hari tersebut masuk dalam hari raya dan dilarang melakankan puasa di dalamnya.

Hari Raya Idul Adha pada tahun ini masih berbarengan dengan suasana pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Seperti kita saksikan, pandemi telah melahirkan krisis multidimensi. Mulai dari gejolak ekonomi, gesekan sosial, hingga merambah isu keagamaan. Di sektor kesehatan, penyebaran Covid-19 telah menghilangkan ribuan nyawa manusia dan menjangkiti puluhan ribu lainnya. Sedangkan pembatasan sosial untuk menangkal penyebaran Covid-19 telah menyebabkan lumpuhnya roda ekonomi. Di saat yang sama, ada sejumlah oknum yang berusaha mengambil keuntugan pribadi maupun kelompok di tengah pandemi ini.

Krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 inilah yang kiranya menjadi concern umat beragama, khususnya umat Islam. Tugas umat Islam saat ini ialah bagaimana mengimplementasikan ajaran dan nilai Islam dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. Agama, terutama Islam, harus menjadi pemecah persoalan (problem solver), alih-alih pemicu persoalan (trouble maker). Tidak hanya itu, umat Islam idealnya bisa berperan aktif dalam upaya melawan pandemi dan kembali menggerakkan roda ekonomi. Maka, momentum Idul Adha atau Idul Kurban ini merupakan waktu yang tepat bagi kita untuk refleksi diri, dan berpikir untuk mengambil langkah-langkah konstruktif.

Dalam leksikon ilmu tafsir, penafsiran dengan pendekatan hermeneutika dipandang relevan untuk mengungkap makna terdalam di balik sebuah teks (Sahiron Syamsudin: 2010). Pendekatan hermenuetis dalam tafsir Al-Qur'an memungkinkan terjadinya pemikiran keagamaan yang dialektis, dinamis, dan kontekstual. Seperti halnya dalam persoalan ibadah kurban yang di masa sekarang idealnya dipahami tidak hanya secara simbolistik. Jika dipahami secara simbolistik, penyembelihan hewan kurban justru akan mempersepsikan Islam sebagai agama yang tidak ramah pada makhluk hidup, bahkan kejam. Di era kontemporer ini, ibadah kurban idealnya tidak semata dibingkai ke dalam narasi ritualistik yakni menyembelih hewan ternak dan membagikannya ke orang miskin. Ibadah kurban harus diletakkan dalam bingkai persoalan kontemporer yang dialami umat manusia.

Baca juga : Mabuk, Bagnaia Terancam Sanksi Dari Ducati

Ibadah kurban yang diajarkan Nabi Muhammad SAaw baru dimulai tahun 2 Hijriah. Dengan demikian, kurban sebagai ibadah menjadi bagian dari perayaan hari Idul Adha atau haji. Perintah untuk berkurban dalam rangka Idul Adha adalah bagian dari peringatan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim AS yang sangat erat kaitannya dengan pengorbanan yang sesungguhnya.

Ibrahim AS adalah seorang nabi pilihan yang dikenal dengan ulul azmi, yang merupakan bapak monoteisme. Dahulu kala, beliau sangat menantikan buah hati yaitu anak. Bahkan dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa kekayaan Ibrahim yang luar biasa itu menjadikan nazar atas hal pengorbanan atas anaknya. Padahal, pada saat bernazar, ia belum dikaruniai anak yang bernama Ismail AS. Dengan demikian, peristiwa inilah yang menguji sosok Nabi Ibrahim sehingga terdapat perintah kurban.

Pada dasarnya, tradisi berkurban sudah ada sejak Nabi Adam AS dengan praktik yang beragam. Pada masa Nabi Adam, ketika kedua putra beliau, Qabil dan Habil, diperintahkan berkurban dalam memperebutkan Iqlima. Hal inilah sejarah pertama umat manusia dalam menentukan calon istri, saat awalnya kehidupan manusia berasal dari Hawa dan Adam yang memiliki anak-anak yang kembar. Setidaknya terdapat 40 anak melalui 20 kali persalinan Ibu Hawa. Kisah tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Maidah (5) ayah 27. Kemudian Allah SWT menerima kurbannya Qabil, yang pada waktu itu merupakan seorang petani yang mengorbankan satu karung gandum yang sangat baik. Sedangkan Habil, yang seorang perternak, mengorbankan seekor kambing yang tidak bagus. Sehingga Allah SWT menerima kurbannya Qabil daripada Habil. Kurban harus memilki dimensi keikhlasan dan ketulusan sejati.

Kurban adalah bagian dari mendekatkan diri kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan. Bentuk mendekatkan tersebut adalah dengan salat dan menyembelih hewan kurban. Hal tersebut sebagaimana dalam QS Al-Kausar (108) ayat 1-2. Sehingga kurban sebagai sebuah bentuk ketulusan kepada Allah SWT, karena yang dinilai adalah ketakwaannya, bukan daging hasil kurban. Daging kurban ini dibagikan ke mereka yang membutuhkan yaitu fakir miskin dengan membunuh keangkuhan pribadi menuju kebersamaan sesama manusia. Allah tidak mengambil apa pun kecuali ketakwan atau ketundukan umat manusia.

Adsense

Kenyataan ini tergambar dalam QS Al-Hajj (22) ayat 37. Dengan demikian, orang yang beriman harus melaksanakan kurban sebagai bentuk bersyukur atas segala nikmatnya. Berkurban harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Mereka yang mampu dan tidak pernah melakukan kurban oleh Nabi Muhammad SAW tidak diperbolehkan untuk mendekat pada tempat shalat. Artinya, mereka yang beragama Islam harus peduli sesama manusia. Kepedulian ini akan dapat mengantarkan kepada derajat kemanusiaan yang tinggi. Sehingga mereka yang tidak mampu mempedulikan saudaranya, maka sebaiknya tidak mendekat ke tempat shalat.

Baca juga : Firli Ajak Anggota G20 Kolaborasi Perangi Korupsi

Hadis tersebut memperkuat QS Al-Maun (107) ayat 1-3. yang menyatakan beragama dan berdusta. Mereka ini tidak mampu mengorbankan harta bendanya untuk keperluan sosial yaitu pemberian makan kepada anak yatim. Seorang yang beriman harus berbuah manis dengan kepentingan sosial atau masyarakat. Dengan demikian, melalui berkurban inilah seharusnya menjadikan pemeluk agama Islam peduli dengan sesama dan pada akhirnya Islam tidak mungkin terjadi kemiskinan jika kepedulian sesama selalu meningkat.

Pengorbanan dalam ajaran Islam tidak saja terjadi pada Idul Adha. Islam dalam ajarannya selalu mengkaitkan iman dan amal saleh. Termasuk dalam kegiatan Puasa Ramadhan dengan adanya zakat fitrah. Tujuan zakat adalah agar kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada mereka yang kaya. Ibadah-ibadah sosial tersebut menjadikan umat Islam seharusnya lebih peduli terhadap sesama yang membutuhkan. Sehingga ada korelasi antara keimanan dengan ibadah sosial. Dengan demikian, kurban sebagai bentuk ajaran Islam yang sejati yakni beriman dan beramal saleh.

Simbol mengalirkan darah binatang dalam berkurban adalah membunuh ego pribadi. Penyakit inilah yang sering menjadi perusak seseorang dalam relasi kehidupan kemanusiaannya. Pribadi manusia menjadi merasa unggul antara satu dengan yang lainnya karena kesombongan, keserakahan, rakus, iri, dengki, tidak senang melihat kesuksesan yang lain serta beragam jenis sifat lainnya seperti kasus pembunuhan Habil oleh Qabil.

Sifat-sifat buruk semacam inilah yang seharusnya disembelih dalam sifat-sifat kita sehingga terhindar dari hal-hal negatif dan kemudian menjadikan dimensi kemanusiaan meningkat dan rasa kebersamaan menjadi kuat. Bukankah umat manusia itu sama tidak ada perbedaan satu dengan lainya kecuali ketakwaannya?

Melalui takwa inilah salah satu dimensi keegoan itu ditaruhkan untuk peduli sesama dengan membangun relasi perdamaian di muka bumi ini agar tragedi bunuh membunuh di antar anak Adam Qabil dan Habil tidak kembali terjadi.

Baca juga : Arawinda Kirana, Sstt… Kencani Suami Orang?

Saat ini umat Islam dan manusia pada umumnya masih dilanda keterpurukan Covid-19 yang mengalami semacam krisis eksistensial yang diakibatkan oleh residu modernisme. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil dari proyek modernisme di satu sisi memang memberikan banyak kemudahan pada hidup manusia. Namun, di saat yang sama modernisme juga melahirkan berbagai persoalan, mulai dari mengguritanya kapitalisme hingga munculnya gaya hidup hedonisme dan konsumerisme. Di zaman ini, nyaris tidak ada manusia di dunia yang bisa menghindar dari pola pikir konsumeris dan hedonis. Hampir semua manusia sibuk memburu kesenangan artfisial dan kebahagiaan banal. Akibatnya, seperti kita lihat, manusia kian menjadi individualis bahkan pragmatis. Apa saja dilakukan untuk melunasi hasrat egoistiknya.

Ironisnya, nalar individualisme, egoisme bahkan pragmatisme itu juga masih muncul di tengah suasana pandemi Covid-19 ini. Betapa banyak masyarakat yang masih berpikir bahwa pandemi Covid-19 ini ialah hasil dari konspirasi global bahkan ada yang meyakini pandemi Covid-19 tidak lebih dari rekayasa media massa. Fatalnya, lagi anggapan-anggapan yang demikian itu justru muncul dari para pesohor yang opini-opininya potensial membentuk pandangan publik. Alhasil, banyak masyarakat yang lantas abai pada kebijakan Pemerintah dalam penanganan pandemi dengan tidak taat pada protokol kesehatan. Bisa dibilang, fenomena yang seperti ini ialah wujud dari pola pikir egoistik dan pragmatistik yang kadung mengakar di masyarakat kita.

Pandemi Covid-19 yang melahirkan krisis multidimensi ini niscaya bisa diatasi dengan mengedepankan solidaritas global dan kemanusiaan universal. Situasi ini membutuhkan kesadaran seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif mensukseskan kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi dan efek domino yang ditimbulkannya. Patuh pada kebijakan pemerintah, taat pada protokol kesehatan serta tidak menyebarkan narasi negatif ialah upaya paling mudah yang bisa kita lakukan. Jika itu berhasil kita lakukan, pada dasarnya kita telah berhasil membunuh sikap egoisme dan pragmatisme dalam diri kita. Idul Kurban yang berbarengan dengan pandemi ini kiranya bisa menjadi momentum untuk mentransformasikan ritual ibadah kurban ke dalam konteks spirit kemanusiaan.

Di zaman Nabi Ibrahim, hewan ternak merupakan simbol kekayaan, dan aset penting bagi seseorang. Di masa sekarang, komoditas dan kekayaan tentu memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang hewan ternak. Maka, inti dari berkurban bukan hanya menyembelih hewan, melainkan lebih pada bagaimana subtansi ibadah kurban itu dapat kita aktualisasikan dan kontekstualisasikan. Subtansi kurban menurut Komaruddin Hidayat ialah mewujudkan keadilan sosial dalam bingkai solidaritas dan persaudaraan. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan. Namun, keadilan yang tercipta bukan di atas pertumpahan darah, melainkan lahir karena ikatan persaudaraan sesama manusia. Adalah fakta yang tidak dapat dibantah bahwa Islam kerap mengklaim diri sebagai agama yang kosmopolit, universal, dan berlaku sepanjang zaman. Tentu saja klaim-klaim tersebut tidak akan berarti apa-apa jika umat Islam sendiri tidak mentransformasikan ajaran agama ke dalam dimensi sosial, tidak terkecuali dalam ibadah kurban. Oleh karena itu, momentum Idul Kurban yang berlangsung di tengah keprihatinan akibat pandemi ini bisa memantik kesadaran umat untuk mentransformasikan spirit kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Hendaklah umat Islam tidak hanya berkurban hewan ternak, namun juga mengurbankan ego, kepentingan, hasrat dan nafsu negatif demi tegaknya solidaritas kemanusiaan. Sebagai umat Islam kita berkewajiban untuk mewujudkan solidaritas kemanusiaan agar tidak hanya berakhir sebagai sebuah teori atau retorika belaka.■

Rizal Faturohman Purnama, Wakil Ketua Umum PP Hima Persis

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense