Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Aksi Hostile Takeover Marak, Investor Dibuat Cemas

Kamis, 25 Juli 2019 21:17 WIB
Ilustrasi saham. (Foto: Moneysmart)
Ilustrasi saham. (Foto: Moneysmart)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejumlah analis dan pengamat pasar modal menyoroti maraknya aksi pengambilalihan paksa kontrol atau kendali (hostile takeover) di tubuh emiten. Aksi hostile takeover dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian dan cenderung mengorbankan kinerja perusahaan, sehingga membuat investor cemas.

Maraknya hostile takeover terlihat dari makin banyaknya emiten yang mengalami pengambilalihan kontrol perusahaan secara paksa. Sebuat saja, PT Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan terakhir PT Jababeka Tbk (KIJA) yang juga dikabarkan mengalami aksi tersebut.

“Kita harus melihat kinerja sesudahnya, apakah pemegang saham yang baru masuk tersebut dapat diterima oleh pasar atau tidak,” ujar Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee di Jakarta, Kamis (25/7).

Jika tidak diterima dan justru menimbulkan kekisruhan hingga berujung gugat-menggugat, lanjut dia, hal itu tentu merugikan perusahaan yang dimaksud. Kondisi tersebut juga cenderung membuat ketidakpastian yang akhirnya membuat investor cemas.

Aksi hostile takeover memang biasanya dilakukan dengan cara pengambilalihan paksa. Caranya dengan mengambil saham melalui tender offer ataupun membeli saham-saham satu perusahaan di pasar. Masalahnya, dampak negatif dari hostile takeover juga menjadi perhatian dari para investor. 

Baca juga : Ajaib Rilis Cara Baru Investasi Lewat Tema

Head of Research Department of Koneksi Capital Alfred Nainggolan juga menilai proses hostile takeover sudah pasti tidak bisa berjalan mulus dan mempengaruhi roda usaha, karena konflik ini akan berujung pada konflik kepemimpinan di perusahaan tersebut. Contohnya, kisruh di tubuh emiten Jababeka dengan adanya pergantian susunan direksi yang mengejutkan, menandakan proses pergantian manajemen yang di luar kebiasaan. 

“Kejadian seperti ini bisa dikatakan hostile takover terlebih dengan terdiversivikasinya pemegang saham KIJA memperbesar peluang terjadinya hal itu,” paparnya.

Alfred memaparkan, motif dari hostile takeover adalah memperebutkan penguasaan perusahaan (aset) yang sudah pasti aset tersebut punya nilai (prospek) yang menarik/strategis. “Latar belakang dan motif yang terlihat memang ke arah hostile takeover,” ucapnya.

Alfred menilai, hostile takeover merupakan faktor extraordinary yang dapat memberikan sentimen negatif bagi kinerja emiten. Sentimen negatif tersebut berupa risiko default kewajiban buyback obligasi. 

“Risiko default yang ada pada KIJA ini bukan disebabkan karena penurunan kinerja, tapi extraordinary faktor, yaitu obligasi yang seharusnya dibayar/dikembalikan dalam jangka panjang berbuah menjadi jangka pendek,” katanya.

Baca juga : KBN Dinilai Tak Ramah Investor

Di sisi lain, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Sanusi mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) sebaiknya mengatur lebih jauh bagimana mekanisme pemegang saham publik bisa terlibat dalam susunan manajemen perseroan, apabila jumlah saham publik lebih besar dalam satu perusahaan terbuka. “Asalkan yang dilibatkan murni pemegang saham publik yang berkumpul, bukan pemegang saham lainnya yang berniat untuk mengambil alih suatu perusahaan,” katanya.

Dia menilai hal ini perlu dilakukan agar seluruh tindakan manajemen perseroan bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kepentingan seluruh pemegang saham. Langkah ini juga bertujuan agar perubahan manajemen maupun aksi perseroan bisa dilaksanakan dengan mulus, sehingga tidak merugikan kepentingan pemegang saham publik.

"Di luar negeri ada istilah proxy, yaitu dimana sebagian besar pemegang saham publik bisa memberikan masukan terhadap perusahaan. Proxy memungkinkan pemegang saham investor publik bisa terlihat dalam mengontrol jalannya perusahaan," terangnya.

Kisruh yang terindikasi sebagai hostile takeover di tubuh Jababeka memang belum selesai. Kabar terbaru menyebutkan tujuh pemegang saham Jababeka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait perkara perubahan susunan direksi dan dewan komisaris KIJA sehingga perusahaan berisiko gagal bayar surat utang senilai 300 juta dolar AS. 

Berdasarkan keterbukaan informasi yang dipublikasikan di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (22/7), ada tujuh pemegang saham yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Secara keseluruhan, ketujuh pemegang saham ini menguasai 1,02 miliar lembar atau 4,91 persen saham KIJA.

Baca juga : Tak Pernah Juara, Giampaolo Ditunjuk Latih AC Milan

Perinciannya, Lanny Arifin sebanyak 28,67 juta lembar, Handi Kurniawan 71,23 juta lembar, Yanti Kurniawan 70,92 juta lembar, Wiwin Kurniawan 57,53 juta lembar, Christine Dewi 256,19 juta lembar, Richard Budi Gunawan 216,69 juta lembar, dan PT Multidana Venturindo Kapitanusa 322,51 juta lembar.

Para pemegang saham ini menolak keputusan yang diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 26 Juni 2019, terkait pergantian direktur utama dan jajaran direksi serta dewan komisaris lainnya. Julius Rizaldi selaku kuasa hukum ketujuh pemegang saham menyebut dengan didaftarkannya gugatan ke pengadilan pada Jumat (19/7), keputusan agenda kelima dalam RUPST itu belum berlaku secara efektif sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, dia menegaskan apabila ada pihak yang tidak mengindahkan fakta hukum tersebut, maka tindakan hukum akan segera diambil. [DIT]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.