Dark/Light Mode

Estimasi Karbon Stok secara Nyata dan Konversi NDVI, TVI, SAVI Sentinel-2 di CMC sebagai Penunjang Perekonomian Melalui Carbon Trading

Kamis, 29 Desember 2022 21:47 WIB
Clungup Mangrove Conservation (Foto: Dok. Pribadi)
Clungup Mangrove Conservation (Foto: Dok. Pribadi)

Mike Baird pernah berkata “tak kenal, maka tak sayang”. Kutipan ini tentunya tidak asing ditelinga kita. Banyak yang menggunakan kutipan ini untuk persoalan cinta. Namun, kutipan ini juga berlaku untuk persoalan lingkungan. Lingkungan yang baik, tentunya akan membuahkan sumber daya manusia yang baik pula. Pertanyaannya, sudahkah kita mengenal lingkungan?

Indonesia yang terkenal dengan negara maritim memiliki garis pantai terpanjang ketiga, yakni sepanjang sepanjang 54.716 km (Central Intelligence Agency) dan mewakili 23 persen dari total luasan mangrove sedunia (Giri et al, 2011). Ternyata, setiap hektar mangrove dapat menyimpan hingga 4.000 ton karbon dioksida (Rahadian dkk, 2019), sehingga dapat mencakup sepertiga karbon pesisir global (Pendleton et al, 2012). Dari angka tersebut, tentunya dapat menggambarkan bahwa hutan mangrove dapat menyerap karbon 5 kali lebih tinggi dibandingkan hutan tropis (Donato et al., 2012).

Peranan hutan mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon lebih tinggi, dapat efektif mengatasi masalah efek gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Hal ini dikarenakan simpanan karbon stok pada bawah permukaan tanah mampu menyimpan karbon sebesar 80 persen yang dialokasikan ke akarnya yang besar dan meliuk ke atas permukaan tanah, sehingga mampu mengendapkan dan menguraikan serasah dalam jangka waktu yang lama, yang menjadikan tanah mangrove tercampuri oleh banyak karbon.

Kemudian, bagaimana cara kita mengetahui kandungan stok karbon pada mangrove? Banyak cara yang bisa digunakan untuk menghitung. Salah satunya dengan metode non-destructive menggunakan rumus allometrik dari peneliti terdahulu. Selain itu, bisa juga menggunakan metode destructive, yakni dengan menebang keseluruhan pohon mangrove untuk mengetahui biomassanya. Namun, cara ini kurang efektif dilakukan di era maraknya pemanasan global, yang membutuhkan banyaknya energi hijau untuk meminimalisirnya.

Pengimplementasian perhitungan estimasi stok karbon atas-bawah mangrove ini dilakukan di Clungup Mangrove Conservation (CMC). Mengapa demikian? Karena tempat ini memiliki luasan mangrove yang cukup besar dibandingkan pantai lain di sepanjang garis pantai di Malang Selatan, yakni sebesar 81 hektar (Ardiansyah, Anggara & Sartimbul, 2022). Selain itu, kawasan ini terkenal dengan kawasan mangrove yang bersih dari sampah, karena kelompok masyarakat yang mengelola, ‘POKMASWAS GOAL (Gatra Olah Alam Lestari)” selalu mengecek dan mendata barang apa saja yang dibawa pengunjung saat memasuki kawasan destinasi ini, dan dipastikan saat keluar dari kawasan tersebut. Mereka tetap membawa barang-barang yang dibawa saat masuk, tanpa berkurang satu barang pun. Harapannya, masyarakat dapat lebih aware terhadap keberadaan hutan mangrove yang bersih, asri dan rimbun. CMC memiliki 5 jenis spesies yang mendominasi, seperti RA (Rhizhophora apiculata), CT(Ceriops tagal), RM (Rizhophora mucronata), SA (Sonneratia alba), dan BG (Bruguiera gymnorrhiza)

Tabel 1. Spesies dominan di CMC (Sumber: Dok. Penulis)

Plot 1 (Rizhophora mucronata)

 

Plot 2 (Ceriops tagal)

Plot 2 (Rhizhophora apiculata)

Baca juga : Bio Farma Sabet PROPER Emas Ketujuh Kalinya Dari KLHK

Plot 3 (rizhophora mucronata)

Plot 4 (Rhizhophora apiculata)

Plot 4 (Sonneratia alba)

Plot 5 (Sonneratia alba)

Plot 5 (Rhizhophora apiculata)

Plot 6 (Sonneratia alba)

Plot 7 (Sonneratia alba)

Baca juga : Dukung Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi, Acer Serahkan Laptop Ke Sejumlah Sekolah

Plot 7 (Rhizhophora apiculata)

Plot 8 (Rhizhophora apiculata)

Plot 9 (Rhizhophora apiculata )

Plot 10 (Ceriops tagal)

Plot 10 (Rhizhophora apiculata)

Plot 10 (Bruguiera gymnorrhiza)

 

Baca juga : Batfest 2022, Pengunjung Serbu Paket Minyak Murah PT Jhonlin Agro Raya

Dari 5 spesies yang mendominasi, ada Rhizophora Apiculata yang paling mendominasi. Dari macam-macam dominasi spesies ini, tentunya memiliki karakteristik spesies dan tempat yang berbeda, dari perbedaan ini dapat diketahui secara digital melalui penginderaan jauh dengan beberapa indeks. 

Menurut Brundtland (1997) dalam Mrosovsky (1997) “…Tidak ada dasar lain dari kebijakan politik yang tepat selain bukti atau fakta ilmiah terbaik yang ada. Hal ini khususnya berlaku dalam bidang pengelolaan sumber daya dan perlindungan lingkungan.” Kutipan tersebut secara khusus mengatakan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Peran ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan untuk mendukung perkembangan sektor lingkungan dan kehutanan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan untuk strategi berkelanjutan, seperti penginderaan jauh yang mampu melakukan kontak yang ada di bumi meski dari jarak yang jauh sehingga yang mengakses mendapatkan data untuk bisa diolah. Salah satunya menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) melalui ArcGis dengan spesifikasi Sentinel-2 dengan resolusi spasial sebesar 15 m. Transformasi yang digunakan berupa NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) TVI (Transformed Vegetation Index) dan SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index). Ketiga indeks ini dipilih dan diperlukan karena untuk mengetahui tingkat kehijaun, kerapatan dan kepekaan gambar yang diambil. Berikut adalah peta hasil penganalisisan melalui indeks NDVI, TVI dan SAVI.

Gambar 1. Indeks NDVI

Gambar 2. Indeks TVI

Gambar 3. Indeks SAVI

Banyak upaya yang dilakukan manusia untuk dapat membuat bumi hijau. Namun, banyak pula ulah manusia yang membuat bumi hangus. Seperti kegiatan pengalihan lahan hutan menjadi non hutan (deforestasi) hingga adanya degrdasi hutan yang dapat menimbulkan berbagai macam bencana. Dari tahun ke tahun, kegiatan ini semakin meningkat, sehingga Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi untuk memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2 derajat C.

Komitmen penurunan emisi ini sebesar 26 persen dengan dana sendiri dan 41 persen jika mendapat dukungan internasional. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Nasional Penurunan Emisi Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Mekanisme yang dibuat untuk menciptakan insentif positif bagi negara berkembang yang berminat dan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan ini disebut REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancement of forest carbon stocks in developing countries) (DJPPI-KLHKI, 2017).

Adanya REDD+ dapat memacu masyarakat untuk mencapai target dalam menurunkan emisi dari peningkatan cadangan karbon, tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari diadaknnya konservasi hutan, terutama mangrove, sehingga dari diadaknnya konservasi ini harapannya akan menimbulkan keanekaragaman hayati yang dapat menghasilkan nilai karbon yang beragam dan jasa ekosistem, dari jasa ekosistem ini tentunya akan mendukung pertumbuhan ekonomi, terutama masyarakat di sekitar kawasan konservasi tersebut untuk melakukan carbon trading karena karbon yang dihasilkan dalam jumlah banyak, dapat diperjual belikan dengan harga yang mahal, diperkirakan bisa mencapai 300 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 4.290 triliun per tahun. Jumlah yang sangat menggiurkan bukan? Dalam hal ini, Indonesia bekerja sama dengan koperasi internasional untuk menuju pembangunan hijau.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.