Dark/Light Mode

Revisi Aturan Devisa Hasil Ekspor Mesti Disertai Sanksi Tegas

Sabtu, 14 Januari 2023 07:30 WIB
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto/Ist
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) agar selaras dengan pertumbuhan ekspor dengan cadangan devisa. 

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, hal itu akan dilakukan untuk menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi.

"Tadi arahan Bapak Presiden bahwa ekspor yang selama ini terus positif perlu diikuti dengan peningkatan cadangan devisa. Oleh karena itu, Bapak Presiden meminta agar PP 1/2019 tentang devisa hasil ekspor diperbaiki," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Yusuf Wibisono mendukung langkah pemerintah merevisi peraturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Namun dukungan ini dengan catatan sebagai berikut. 

Baca juga : Revisi PP Devisa Hasil Ekspor Dongkrak Kekuatan Rupiah Lawan Dolar AS

"Menambahkan sektor yang wajib membawa pulang DHE tidak hanya SDA namun juga sektor lain termasuk manufaktur, itu sah-sah saja. Namun tidak akan menyelesaikan masalah selama kebijakan DHE hanya pencatatan di dalam negeri dengan sanksi yang cenderung ringan. “Umumnya hanya sanksi administratif,” tegas Yusuf, Jumat (13/1). 

Menurut dia, banyak DHE yang tidak kembali ke Indonesia karena pengusaha menahan dollar mereka untuk berbagai hal.

“Pengusaha membutuhkan devisa untuk kebutuhan impor, untuk membayar utang valas dan juga untuk antisipasi karena kekhawatiran atas ketidakpastian pasar valas. Bahkan, posisi hold dolar menjadi pilihan menguntungkan untuk spekulasi,“ jelas Yusuf. 

Dan faktor yang paling jelas adalah bunga deposito dolar yang jauh lebih tinggi di bank luar negeri dibandingkan bank di Indonesia. 

Baca juga : SIM Keliling Tangerang Kota 28 Desember, Hadir Di Pasar Laris Taman Cibodas

“Ini ironis dan terlihat amoral karena DHE dari hasil kekayaan alam negara digunakan untuk keuntungan pribadi semata bahkan dengan kerugian rakyat dari instabilitas Rupiah,” tegas Yusuf yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) itu.

Untuk itu, perlu reformasi secara struktural yang bisa dilakukan pemerintah. Yaitu mereformasi sistem devisa bebas kita. Kita seharusnya mulai menerapkan kewajiban repatriasi DHE dan kewajiban konversi DHE ke Rupiah, tidak perlu secara penuh, katakan misalnya 50 persen saja.

"Jadi di satu sisi ketidakpastian pasar valas bisa ditekan dengan pasokan Dollar yang memadai, namun di sisi lain pengusaha pemegang DHE juga masih tetap memiliki DHE dalam jumlah signifikan,” ungkap Yusuf.

Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, peraturan DHE lebih banyak menguntungkan pengusaha dibanding menambah cadangan devisa negara.

Baca juga : Menghayati Nasionalisme Indonesia

"Selain proyeksi pelambatan ekspor-impor tadi, saya menilai bahwa peraturan yang ada selama ini lebih menguntungkan pengusaha dari pada untuk menambah cadangan devisa," terangnya.

Oleh sebab itu, Fahmy menilai langkah untuk merevisi aturan tersebut memang sesuai dengan keperluan nasional. Sehingga aturan tadi perlu direvisi agar ekspor nanti memberikan tambahan yang signifikan bagi cadangan devisa.

Berkaca pada tahun sebelumnya, ketika harga dan permintaan komoditas melonjak justru cadangan devisa tidak mengalami hal serupa.

Selain persoalan aturan, Fahmy juga mendorong pemerintah memaksimalkan aktivitas ekspor-impor untuk menambah devisa.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.