Dark/Light Mode

Percepat Larangan Ekspor Biji Nikel

Bos BKPM Berani Bikin Gebrakan

Rabu, 30 Oktober 2019 10:38 WIB
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. (Foto: Randi Tri Kurniawan/Rakyat Merdeka).
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. (Foto: Randi Tri Kurniawan/Rakyat Merdeka).

RM.id  Rakyat Merdeka - Usai bertemu 35 pengusaha smelter, kemarin, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia langsung bikin gebrakan. Caranya, dengan menstop ekspor biji nikel.

Larangan ekspor bijih nikel (ore) dipercepat dari yang tadinya 1 Januari 2020 menjadi 29 Oktober 2019. Kesepakatan tersebut dicapai BKPM dengan pengusaha nikel tanpa melanggar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 yang mengatur pelarangan ekspor nikel berlaku mulai 1 Januari 2020.

“Setelah diskusi panjang secara formal, pemerintah dan pengusaha sepakat bahwa, mulai hari ini kita tidak lagi melakukan ekspor ore,” kata Bahlil dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.

Bahlil bilang, pada intinya mereka menyadari bahwa hasil bumi dalam negeri perlu diberikan nilai tambah ketimbang diekspor dalam bentuk mentah.

Bahlil mengatakan, ekspor bijih nikel yang akan dikirim dari Indonesia akan dibeli oleh operator smelter lokal dengan harga patokan internasional.

“Kita ekspor ore rugi terus, kita ingin hilirisasi. Sekarang kan kalau kita ekspor ore palingan 45 dolar AS. Kalau kita sudah barang jadi itu bisa sampai 2.000 dolar AS per ton,” sebutnya.

Baca juga : Raih Anugerah Pandu Negeri, Pemkot Tangerang Janji Tak Berhenti Bikin Terobosan

Dikatakan Bahlil, pihaknya telah membangun komunikasi dengan para pengusaha di bidang industri pengolahan dan pemurnian logam (smelter) untuk mempercepat realisasi investasi smelter di Indonesia, sekaligus mendorong hilirisasi yang tengah digalakan pemerintah.

Dia juga sudah bertemu dengan 35 pengusaha smelter di Jakarta, Senin (28/10). Dalam pertemuan tersebut terungkap, masalah yang dihadapi perusahaan smelter saat ini sangat beragam. Mulai dari perizinan, lahan, infrastruktur, bahan baku, dan perpajakan.

“Salah satu masalah utamanya adalah keterbatasan bahan baku. Keterbatasan bahan baku berupa bijih tambang (ore) disebabkan ada kegiatan ekspor bahan mentah ilegal.

Seperti bijih nikel, sehingga para pengusaha smelter bersaing memperebutkan bahan baku yang jumlahnya semakin berkurang,” katanya.

Kondisi ini dinilainya akan membuat Indonesia kehilangan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan bijih nikel di Tanah Air. Karena itu, pemerintah akan menghentikan ekspor ilegal dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

“Solusi yang saya bangun adalah bijih nikel tidak diekspor. Tapi bagaimana bijih tersebut bisa dibeli oleh pengusaha smelter dalam negeri dengan harga internasional, dikurangi transhipment dan pajak ekspor,” jelasnya.

Baca juga : Cadangan Menipis, INDEF Sebut Larangan Ekspor Nikel Langkah Maju

ESDM Bergerak Cepat

Dengan adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel ini, Kementerian ESDM juga bergerak cepat mengevaluasi kesiapan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, saat ini Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara telah melakukan kunjungan ke lapangan, untuk memantau kemajuan pembangunan smelter.

“Dari kunjungan tersebut, kita mendapat data di la pangan. Nantinya, data ini akan dievaluasi, terkait kemajuan pembangunan smelter untuk menentukan arah kebijakan ekpor nikel ke depannya,” kata Agung di Jakarta, kemarin.

Para pelaku usaha pertambangan juga siap mengawal pemberlakuan percepatan kesepakatan larangan ekspor bijih nikel.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengatakan, pihaknya akan mengawal kebijakan ini dan berkomitmen mengkomunikasikan pemberlakuan percepatan pelarangan ekspor ore kepada pemilik smelter.

Baca juga : Percepat Proses Bisnis Ekspor Produk Olahan Kakao, Kementan Berikan Ini

“Tujuannya, agar pemahaman merata sehingga tidak terjadi kesalahpahaman,” ujarnya. Saat ini, setidaknya ada 14 smelter di seluruh Indonesia yang siap membeli dan mengolah sisa bijih nikel yang batal ekspor sampai Januari 2020.

“Asosiasi juga berkomitmen mengawasi para pelaku usaha nikel. Asosiasi akan bertindak tegas apabila ada pelanggaran. Seperti pengusaha yang nekat ekspor, akan kami tindak dengan mengeluarkan yang bersangkutan dari asosiasi,” tegas Prihadi.

Sebelumnya, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menatakan, per cepatan larangan ekspor bijih mineral dari tahun 2022 menjadi tahun 2020 demi menarik investasi smelter di dalam negeri.

Luhut memaparkan, Indonesia masih mengekspor bijih nikel dengan kadar 1,7 persen, nilai ekspor yang diperoleh hanya sekitar 600 juta dolar AS hingga 700 juta dolar AS. [NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.