Dark/Light Mode

Agus Pambagio: Perdagangan Karbon Tanpa Kontrol Melanggar Konstitusi

Sabtu, 11 Mei 2024 15:25 WIB
Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio/Ist
Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Perdagangan karbon saat ini menjadi salah satu primadona dunia di sektor keuangan dan lingkungan hidup sejak deklarasi Paris Agreement 2015. Pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan sebuah kesepakatan bersama bangsa-bangsa di bumi ini untuk menjaga kelangsungan hidup semua.

Pada Rapat Terbatas Kabinet, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melaporkan kepada Presiden Jokowi terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing dengan kebijakan resmi. Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

“Untuk itu, tata kelola karbon harus benar-benar diatur oleh pemerintah secara baik demi kepentingan bangsa. Pemahaman publik atas perdagangan karbon memang masih terbatas karena memang tidak mudah dipahami oleh awam,” ujar pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/5/2024).

Disebutkan Agus, perdagangan karbon adalah aktivitas jual beli sertifikat kredit karbon, yang menjadi komoditas perdagangan bukanlah karbon atau gas polutannya melainkan usaha untuk mengendalikan atau mengurangi emisi karbon (yang dinyatakan dalam sertifikat kredit karbon) itulah yang merupakan komoditasnya.

Ketidakpahaman publik ini harus segera ditangani melalui program literasi karbon yang terstruktur dan berkelanjutan dari pemerintah, supaya isu persoalan perdagangan karbon ini dapat dipahami oleh masyarakat, diatur dengan baik oleh pemerintah demi kemakmuran bangsa Indonesia dan ditaati oleh swastas/industri.

Pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) terkait dengan sumber daya alam yang secara konstitusi perdagangannya harus diatur oleh pemerintah demi kepentingan bangsa, bukan diatur secara serampangan oleh pihak – pihak swasta yang hanya melihat kepentingan bisnisnya saja dan membentuk oligarki oligarki baru.

Baca juga : Menteri LHK Tegaskan Perdagangan Karbon Diatur Pondasi Governance & Kedaulatan Negara

“Sudah banyak sumber daya alam Indonesia yang kurang dapat dinikmati optimal oleh bangsa ini, seperti kayu, mineral, minyak dan gas bumi. Untuk itu, urusan NEK harus benar benar ditangani dengan tata kelola yang baik demi kemakmuran bangsa Indonesia,” kata Agus.

Lebih jauh Agus mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan usai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerjasama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Kenyataan bahwa perdagangan karbon mengalami dua tahapan kunci ,yaitu era Protokol Kyoto (PK) sebelum tahun 2015 dan era Paris Agreement  (PA) Desember 2015). Bedanya, pada era PK, jual beli karbon terjadi secara bebas dari negara maju (ada daftar kewajibannya) kepada negara berkembang (penyedia karbon) dan berlangsung dalam beberapa model, seperti Result Based Payment (dari prestasi kerja penurunan emisi oleh negara dan dibayar/rewards) dan model Voluntary Carbon Market (tanpa pengaturan dan berlangsung bebas secara business to business yang berlangsung secara Internasional). Hal tersebut terjadi di Indonesia mulai tahun 2010-2011 setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke-13 Bali tahun 2007.

“Untuk menjaga manfaat NEK demi kepentingan publik dan tata Kelola karbon yang baik, telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional,” jelas Agus.

Perpres ini, lanjut Agus, merupakan peraturan perundangan utama yang digunakan supaya NEK dapat berlangsung dengan tata kelola yang baik demi melindungi bangsa Indonesia dari serangan para “makelar” karbon kelas dunia yang secara masif berupaya melobi pemerintah untuk membebaskan perdagangan karbon. Para makelar internasional ini sebenarnya tidak beda dengan peran VOC di masa awal penjajahan. Merugikan bangsa ini secara terstruktur.

Perpres No. 98 Tahun 2021 ini merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021, telah diatur tentang Nilai Ekonomi Karbon tersebut dan juga cara kerja operasionalnya yang kemudian diturunkan pada Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 21 tahun 2022.

Baca juga : Menteri Siti: Pemerintah Atur Perdagangan Karbon Demi Menjaga Kedaulatan Negara

Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon ini mengatur tentang ketentuan umum, tata cara pelaksanaan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, mekanisme penyelenggaran NEK lainnya, pengukuran, pelaporan dan verifikasi penyelenggaraan NEK, penyelenggaraan Sistem Register Nasional (RN), sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca, pengelolaan dana atas perdagangan karbon, partisipasi para pihak, pemantauan dan evaluasi dan ketentuan penutup. Lengkap, tinggal diikuti pelaksanaannya oleh para pelaku bisnis karbon.

Satu lagi Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Peraturan Menteri ini mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup. Jadi jika para badan usaha swasta dan pengejar rente perdagangan karbon Internasional mengatakan bahwa peraturan Voluntary Carbon Market (VCM) itu menghambat perdagangan karbon sukarela di pasar  Internasional, itu merupakan pendapat yang keliru.

Dijelaskan Agus, para pengusaha beserta asosiasinya yang ingin karbon diperdagangkan sukarela, bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangannya; termasuk menolak melakukan pencatatan, menolak keterbukaan informasi dsb, telah bertemu dan mengusulkan perubahan atau revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 kepada Presiden.

Langkah ini harus dicegah bersama-sama karena kalau Perpres No. 28 Tahun 2021 direvisi, pemerintah secara pasti melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat. Rencana merevisi Perpres tersebut jika terlaksana, tidak akan mensejahterakan rakyat, tetapi justru akan membentuk oligarki baru perdagangan karbon.

Dari catatan usulan perubahan Perpres No. 98 Tahun 2021 yang kami dapatkan, disebutkan bahwa alasan Perpres perlu direvisi karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela internasional yang sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim.

Menurut mereka, dampak dari kesenjangan tata kelola ini, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan  dan lain-lain, tertunda penerimaan dan pendanaan karbonnya. Sebuah alasan yang terlalu dibuat-buat.

Baca juga : Menko PMK: Penanganan Bencana Di 3 Provinsi Berjalan Baik

Alasan lain perlunya merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutann izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia.

Selain itu, menurut catatan tersebut, juga dikatakan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik Internasional, dimana belum terjadi perdagGangan emisi lintas sektor.

Hal tersebut di atas tidak bisa diberikan oleh Kementerian LHK, karena dalam berbagai sidang COP UNFCCC memang belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara. Namun, dalam UNFCCC diberikan batasan emisi karbon harus mengandung unsur-unsur: 1) akurasi (tidak double counting carbon, penghitungan tepat, metodis, dll); 2) transparan (dilakukan secara terbuka dan saling berbagi informasi secara Internasional dan menurut rencana UNFCCC akan dibangun sistem terkoneksi dalam beberapa tahun kedepan setelah beberapa negara lakukan).

Kemudian, 3) harus high integrity, bukan green washing dan bukan karbon yang diakui beberapa kali oleh beberapa negara, karena harus dihitung sekalian secara global; 4) harus adil, sehingga distribusi benefit juga harus ditata bukan hanya karena keterampilan bisnis pihak dunia usaha saja; 5) harus memenuhi komitmen pemenuhan NDC oleh Negara masing-masing.

Agus menegaskan, perlu diketahui bahwa carbon trade is very closed to fraud. Sementara para petinggi, politisi yang berpihak pada pelangaran konstitusi semakin banyak, apalagi kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik baik saja.

Menurutnya, karbon merupakan bagian dari sisa sumber daya alam Indonesia yang masih kita punyai dan harus dikuasai oleh negara. Bukan oleh pedagang dengan menggunakan berbagai skema (penilai independen internasional dan di antaranya menjadi market place), politisi maupun para oligarki.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.