Dark/Light Mode

Ini Tiga Pertimbangan Kenaikan Tarif Cukai Menurut Kemenkeu

Senin, 31 Agustus 2020 08:54 WIB
Webinar Akurat Solusi bertemakan Rasionalitas Target Cukai 2021 di Jakarta Minggu (30/8). (Foto: Istimewa)
Webinar Akurat Solusi bertemakan Rasionalitas Target Cukai 2021 di Jakarta Minggu (30/8). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah memastikan tahun depan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok akan naik sebesar Rp 172,8 triliun, naik 4,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp 164,9 triliun. Kenaikan tarif ini akan diumumkan pada akhir September 2020 nanti.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021, Kemenkeu mematok penerimaan cukai sebesar Rp 178,5 triliun. Jumlah tersebut naik 3,6 persen year on year (yoy) dibanding outlook akhir tahun ini yang mencapai Rp 172,2 triliun.

Terkait hal ini, Kepala Sub DirektorDirekat Tarif Cukai & Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Sunaryo mengatakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok tahun depan telah mempertimbangkan adanya dampak pandemi Covid-19 dan asumsi makro tahun 2021.

"Tentu asumsi makro akan menjadi pertimbangan dalam pembuatan policy dan penentuan target cukai di tahun 2021," ujarnya dalam Webinar Akurat Solusi bertemakan 'Rasionalitas Target Cukai 2021' di Jakarta Minggu (30/8).

Baca juga : Panglima TNI Pastikan Prada MI Kecelakaan

Ada empat aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah soal kenaikan cukai hasil tembakau pada 2021. Pertama, hasil survei dampak pandemi Covid-19 terhadap kinerja reksan cukai yang menunjukan secara umum masih memiliki resilience untuk melindungi tenaga kerja (padat karya).

Kedua, berdasarkan hasil indepth interview, secara umum kontributor utama mengalami penurunan baik secara volume maupun nominal cukai.

Ketiga, berdasarkan monitoring HTP, pabrikan belum sepenuhnya melakukan fully shifted/ forward shifting, kondisi saat ini pabrikan masih menalangi (backward shifting). Keempat, titik optimum menjadi penentuan target 2021 yang tidak serta merta penambahan beban berkorelasi positif terhadap sektor penerimaan.

Dalam prakteknya, lanjut Menurut Sunaryo, performa CHT 2012 sampai 2018 secara nominal, produksinya terus menurun, prevalensi total Global juga turun, namun penerimaan cukai tercapai dan meningkat secara nominal serta proporsional.

Baca juga : Ini Tiga Negara Kuat Calon Lawan Timnas U-19 di Kroasia

Sehingga, kenaikan CHT tidak hanya mempertimbangkan penerimaan negara. Sebab, tidak serta merta penambahan tarif cukai dapat menambah penerimaan. "Makanya ini tantangan bagi kita ini sendiri untuk membuat solusi. Bagaimana dengan situasi yang seperti ini bisa tumbuh penerimaan cukai tetapi pertimbangannya dari industri dan kesehatan bisa optimum," jelasnya.

Sementara, dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Wawan Juswanto mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai mempertimbangkan tiga hal. Yakni Undang-Undang Cukai, optimalisasi kebijakan, dan kebijakan industri. "Yang dipertimbangkan mana? tiga-tiganya ini kita pertimbangkan secara mix," ungkapnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu memprediksi, volume produksi rokok bakal anjlok signifikan imbas dari pandemi Covid-19 dan kenaikan cukai rokok ini. Sehingga perlu adanya Roadmap yang jelas dan memberi kepastian terhadap industri ini.

Ia mengatakan estimasi penerimaan negara dari cukai akan terkoreksi menjadi Rp165 Triliun atau turun dari target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang ditetapkan sebesar Rp 173,14 Triliun.

Baca juga : Pengamat: Sektor Pertanian Bisa Selamatkan Ekonomi Saat Pandemi

Ia menyebutkan bahwa di tengah pandemi Covid-19 saat ini industri apapun membutuhkan kepastian termasuk IHT yang saat ini posisinya senantiasa merasa terancam. Mulai dari agenda perubahan struktur cukai, kenaikan tarif cukai yang eksesif hingga perubahan regulasi yang terus menekan IHT.

Rencana pemerintah untuk menyederhanakan cukai rokok mendapat pertentangan dari sebagian pelaku di Industri Hasil Tembakau (IHT), khususnya yang tergolong pelaku industri kecil dan menengah.

Menurut Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad) Mudiyati Rahmatunnisa menambahkan, sejak pemerintah berencana untuk menyederhanakan cukai atau simplifikasi cukai tembakau dari 12 layer ke 10 layer, malah mematikan industri kecil dan menengah. Bahkan di tengah dalih pemerintah, untuk menurunkan prevalensi perokok muda.

"Simplifikasi berisiko membuat pabrikan kecil akan kolaps dan berimplikasi pada penyerapan tembakau yang berkurang dan sekarang sebetulnya sudah mulai terasa. Sehingga penyerapan bahan baku tembakau bakal berkurang 30 persen sementara cengkih sampai dengan 40 persen," imbuhnya. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.