Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Di Tengah Diskriminasi Eropa

Sawit Tetap Jadi Andalan Penopang Ekonomi Nasional

Kamis, 5 November 2020 10:54 WIB
Perkebunan Kelapa Sawit. (Istimewa)
Perkebunan Kelapa Sawit. (Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Uni Eropa belum berhenti melakukan diskriminasi terhadap industri sawit di Indonesia. Namun Industri sawit dalam negeri tetap konsisten berusaha agar bermanfaat bagi banyak orang.

Ketua Bidang Sustainability, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Bandung Sahari memandang keberadaan industri sawit dan turunannya merupakan bagian penting dari penyangga perekonomian nasional.

Manisnya bisnis sawit dalam negeri hingga nilai ekspor yang besar nampaknya membuat Uni Eropa meradang hingga mendiskriminasi sawit Indonesia.

"Sawit kita bisa menyangga perekonomian nasional. Tapi diboikot Eropa karena menjadi penyuplai utama kebutuhan minyak sawit di dunia," ujar Sahari di Bandung, dalam Fellowship Journalist Batch II yang digelar oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, belum lama ini.

Kontribusi sawit dalam membangun ekonomi Indonesia cukup besar. Pada tahun 2019, nilai ekspornya (diluar produk Oleokimia & Biodiesel) mencapai 15,57 miliar dolar AS (data BPS) setara kurang lebih Rp 220 triliun, melampaui nilai ekspor dari sektor migas maupun sektor non migas lainnya.

Di masa pandemi Covid-19, sektor sawit juga terbukti mampu bertahan dan tetap menyumbangkan devisa ekspor sekitar 13 miliar dolar AS sampai dengan Agustus 2020, ditengah lesunya sektor-sektor penghasil devisa lainnya seperti migas, batubara, dan pariwisata.

Kontribusi lainnya dari perkebunan dan industri sawit telah membuka jutaan lapangan kerja untuk petani sawit, pekerja pabrik, dan tenaga kerja lainnya di sepanjang rantai produksi kelapa sawit dari kebun sampai dengan menjadi produk akhir.

Baca juga : Ibas Yakin IKM Dapat Jadi Penggerak Kestabilan Ekonomi Negara

Tercatat kurang lebih 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 16 juta tenaga kerja tidak langsung yang diserap oleh sektor sawit. Makin bersinar bisnisnya maka diskriminasi oleh Eropa yang terkesan ganjil juga kian masif.

Eropa melakukan kampanye hitam ke berbagai negara untuk mendapat dukungan agar sawit Indonesia tidak laku di pasar global. Tuduhan Eropa yang dianggapnya ngawur tak jauh dari masalah lingkungan seperti lahan yang terlalu besar digarap untuk perkebunan, deforestasi, dan sebagainya.

Berdasarkan data yang worldstatinfo terungkap bahwa lahan yang digunakan untuk pertanian di Indonesia jumlahnya termasuk sedikit jika dibandingkan negara-negara lain.

Tercatat bahwa Indonesia memiliki 56 juta hektar lahan pertanian dan dengan 243 juta populasi. Sedangkan Amerika memiliki 414 juta hektar dengan 325 juta populasi manusia. terbesar adalah Australia dengan 445 juta hektar tetapi populasinya 23,5 juta orang, di sini bisa dilihat seberapa besar area di Indonesia.

"Indonesia sedikit tapi yang meributkan persoalan lahan pertanian dan perkebunan kita itu banyak negara-negara di dunia. Jadi seolah besar sekali," tegasnya.

Banyak produk selain sawit yang membutuhkan lahan lebih besar tapi sawit yang jadi bulan-bulanan Eropa. Kondisi ini seolah mempertegas bahwa sawit Indonesia adalah ancaman sehingga mereka halalkan berbagai cara untuk mendapatkan diskriminasi.

Produk selain sawit banyak yang membutuhkan area lahan tanam yang luas untuk menghasilkan satu ton hasil tani, seperti Soybean oil butuh 2 hektar, sunflower 1,43 hektar dan Ropessed 1,25 hektar.

Baca juga : Mentan: Pertanian Adalah Pilar Utama Ekonomi Negara

Sedangkan Sawit cuma butuh 0,26 hektar. "Sedikit sekali yang dibutuhkan untuk lahan produksi sawit. Paling besar itu Soybean atau Soya besar banget," jelasnya.

Di Eropa kata dia, perkembangan industri sawit semakin pesat. hal ini dianggap sebagai ancaman bagi industri tandingan selain sawit yaitu minyak nabati global.

Menurutnya, ketika sawit lebih diterima oleh masyarakat Eropa maka di situlah industri yang tersaingi oleh sawit serta LSM bersatu menyebarkan kampanye negatif tentang sawit di Indonesia.

Tujuannya agar produk sawit Indonesia tidak laku. Sikap anti sawit yang dikampanyekan oleh Eropa tidak main-main hingga dibuat regulasi.

"Banyak produk itu di boikot di Eropa karena di sana banyak sekali perusahaan yang Merasa tersaingi oleh produksi sawit asal Indonesia," ungkapnya.

Sebelumnya pemerintah melalui Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga, mengaku geram dengan tindakan Uni Eropa ini.

Ia yakin gugatan terhadap Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Sejak akhir Januari 2020 akan dimenangkan oleh Indonesia.

Baca juga : SDGs Desa Berkontribusi 74 Persen Bagi Pencapaian Nasional

Pasalnya, regulasi Uni Eropa yang cenderung mendiskreditkan CPO di antaranya Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act).

"Sawit dikatakan berisiko tinggi pada lingkungan. Mereka ingin batasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa," jelasnya waktu lalu.

Indonesia sangat mengandalkan sektor ini dalam perekonomian. Dalam setahun, Indonesia bisa memproduksi lebih dari 50 juta ton minyak sawit mentah CPO.

Sebanyak 70 persen dari produksi tersebut mengandalkan ekspor, termasuk ke Uni Eropa. Sementara 30 persen menjadi konsumsi dalam negeri. [JAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.